Kisah Anggriani, Perawat yang Sukses Bikin Konten Video Edukasi Covid-19
Gara-gara Covid-19, Anggriani hampir diminta berhenti jadi perawat oleh keluarganya.
Suara.com - Menjadi seorang perawat awalnya bukanlah cita-cita Anggriani (29), perempuan asal Medan. Namun pada dasarnya ia menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat.
Setelah menjalani profesi sebagai perawat dan berstatus pegawai negeri sipil (PNS), ternyata profesinya lebih dekat dengan masyarakat dibanding dokter atau profesi lainnya. Dan dari sanalah perempuan yang akrab disapa Anggi ini mulai mencintai profesinya.
"Aku emang suka ketemu orang dan punya passion untuk memberikan pelayanan. Banyak hal yang aku coba mulai jadi dokter, pendeta, sampe guru, hingga akhirnya saat ini aku aktif sebagai perawat. Aku nggak pernah berpikir akan jadi perawat sebelumnya. Setelah menjalaninya, aku bersyukur karena aku bisa lebih dekat dan berhadapan langsung melayani pasien," ujar Anggi dalam rilis Likee beberapa waktu lalu.
Anggi sendiri sudah bekerja selama 8 tahun sebagai perawat. Saat ini, kebetulan rumah sakit tempat ia bekerja merupakan salah satu rumah sakit rujukan virus corona atau Covid-19 Indonesia. Ia jujur mengakui kalau sempat dibuat takut dan khawatir di tengah pandemi ini, apalagi profesinya yang secara otomatis berstatus orang dalam pemantauan (ODP).
Baca Juga: Heboh! Influencer Tiongkok Makan Pakan Babi Demi Hemat, Netizen Soroti Ancaman Kesehatan
Membaca kisahnya, Suara.com kemudian tertarik mendalami dan mendengar lebih lanjut tentang kisahnya dan kawan-kawan sesama tenaga medis yang berjuang melawan pandemi dari lokasinya langsung.
Sempat mengalami sakit psikosomatis
Beberapa waktu lalu, usai ada 2 kasus positif yang diumumkan di Indonesia, sebuah kejadian tak disangka juga diungkap Anggi di rumah sakit tempatnya bekerja. Ada seorang dokter sakit gejala Covid-19 usai melakukan perjalanan ke Yarussalem, dan melakukan transit perjalanan dengan pesawat di berbagai negara.
“Awalnya ada dokter rumah sakit kami yang memiliki keluhan kurang enak badan. Kami memberikan perawatan seperti biasa. Lima hari kemudian, pak dokter dijemput ambulans karena keluhan sesak nafas. Setelah ditelusuri, ternyata pak dokter baru saja melakukan perjalanan ke beberapa negara. Berhubung kami belum memiliki alat pendeteksi, hasil tes harus dikirimkan ke Jakarta yang hasilnya keluar sekitar 3 sampai 5 hari. Entah gejala psikosomatis, aku jadi demam dan batuk," cerita Anggi.
Berpikir dipicu gejala psikosomatis, gejala yang muncul saat stres sehingga memengaruhi kondisi fisik, Anggi mengaku kondisi tubuhnya kian memburuk. Demi berjaga-jaga dan mengamankan kondisi yang lainnya, terutama pasien, Anggi diliburkan agar dapat beristirahat di rumah karena gejala batuk dan demam selama 14 hari.
Baca Juga: Dari Jokes Internal hingga Bantu Cegah Bunuh Diri, Kisah Inspiratif Lutfi Afansyah si Konten Kreator
Saat tahap pemulihan diri, Anggi mendapat kabar bahwa sang dokter meninggal dunia, beberapa jam sebelum hasil tes keluar yang menyatakan sang dokter positif Covid-19.
“Mendengar kabar duka tentang pak dokter, aku dan rekan lainnya terkejut. Kami semua sedih dan menangis bersama. Semenjak itu, karena aku yang tinggal sendiri, aku lebih berhati-hati saat merawat diriku sendiri di masa karantina," ungkapnya.
"Aku banyak mencari referensi dan melakukan segala anjuran untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Selain untuk kesembuhanku, aku berpikir jika aku semakin cepat membaik, maka aku bisa semakin cepat membantu para pasien," sambungnya.
Harap-harap cemas bertugas di ruang isolasi
Anak pertama dari 3 bersaudara itu memang bertugas di ruang operasi dan belum ditugaskan merawat pasien Covid-19. Tapi beberapa waktu lalu, rumah sakit tempatnya bekerja memastikan semua perawat akan mendapat giliran merawat pasien penyakit penular tersebut.
Sebanyak total 12 orang pasien positif Covid-19 menjalani perawatan di rumah sakit tempat ia bekerja. Seluruh pasien tersebut akan dirawat oleh 4 orang perawat yang bekerja secara bergiliran dalam satu shift.
Sementara dalam sehari ada 3 shift, yang terdiri dari 8 jam shift pagi dan 8 jam shift siang, serta shift malam selama 12 jam. Keempat orang perawat harus menggunakan APD selama 1 shift melayani seluruh pasien infeksius Covid-19.
Anggi, mengaku kini namanya sudah masuk dalam daftar dan akan segera bergiliran merawat pasien-pasien tersebut. Meski awalnya Anggi sempat menangis karena namanya masuk dalam daftar.
"Udah keluar nama-namanya, dan ada nama aku. Sampai nangis-nangis waktu itu. Tapi aku ingat di Wuhan juga, baik dokter maupun perawat yang pensiun kembali dipanggil buat bertugas. Dan setelah disadari, daftar itu rata-rata berusia 30 tahun ke bawah," papar Anggi.
Keluarga minta berhenti dan resign dari pekerjaan
Hidup jauh terpisah dari keluarga, karena ia memilih tinggal di kos yang dekat dengan rumah sakit tempatnya bekerja. Ia mengaku pernah diminta sang ibu, atau yang biasa ia panggil mamak, untuk keluar dari pekerjaannya.
"Bahkan orangtua saya sendiri, saya sudah PNS: 'Kak udahlah, kak. Kakak resign saja sudah. Nggak mungkin kamu meninggal karena merawat pasien itu.' 'Mak, nggak mungkin juga, yang nggak di rumah sakit juga bisa kena, ngapain berhenti'," ungkap Anggi seraya menenangkan mamaknya.
Anggi lantas berpikir, pekerjaannya memang penuh risiko, tapi selain berikhtiar menjaga kesehatan, dan melakukan berbagai langkah antisipasi yang ia lakukan, kini yang ia lakukan hanyalah pasrah berdoa kepada Sang Pencipta. Niatnya baik untuk bekerja dan menolong banyak orang, maka ia yakin hasilnya juga bakal baik.
"Tinggal dari Tuhan saja jaga, ya sudah berserah saja. Tenang saja, kalau kata Tuhan kita meninggal untuk corona, ya sudah. Tapi kalau kita belum ini, ya sudah," katanya.
APD masih saja kurang merawat pasien
Dibanding mereka yang merawat pasien Covid-19 yang terlindung menggunakan alat pelindung diri (APD), mereka yang lebih terancam adalah yang berada di paling depan memeriksa pasien yang baru datang. Karena yang datang belum diketahui statusnya apakah membawa virus atau tidak. Ini mengingat banyak kasus positif tapi tidak bergejala.
Nah, mirisnya, Anggi juga mengungkap bagaimana mereka di meja terdepan pemeriksa gejala Covid-19 di depan RS, hanya memakai APD ala kadarnya, bukan all cover berwarna putih, tapi malah memakai jubah untuk operasi berwarna biru.
"Biasanya kita juga kalau pakai masker, satu masker untuk satu pasien. Nah, ini malah saking langka dan sedikitnya masker, masker bisa dipakai selama 1 shift," ungkap Anggi.
Nahasnya juga, terkadang masker yang pengait dan tali yang sudah lepas, dipaksa menggunakan karet agar masker tetap bisa digunakan. Begitu pula dengan hand sanitizer.
"Hand sanitizer dulu itu melimpah ruah. Sekarang itu semua botol kosong, bahkan untuk minta juga kita harus ke dinas terkait dengan bukti botol, karena ketat penyalurannya," papar dia.
Buat konten edukasi kesehatan
Selain berjuang di tempatnya bekerja. Anggi juga ternyata seorang influencer yang kerap membuat video untuk menghibur dirinya dan orang lain. Kini, Anggi tidak hanya sekadar membuat video hiburan semata, tetapi juga membuat video-video edukasi kesehatan.
Dan uniknya, di masa pandemi seperti ini, video edukasinya memiliki lebih banyak penonton dan respon yang beragam, dibanding video lain yang biasa ia buat.
"Saat ini penggunanya didominasi oleh remaja. Oleh karena itu, aku merasa bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang benar supaya aku nggak menjerumuskan pengguna lain. Aku harap pengguna lain juga dapat melakukan hal yang sama," kata dia.
Membuat edukasi kesehatan di platform memang susah susah gampang, karena selain ia harus belajar lagi, ia juga harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami orang awam.
"Aku ngeditnya juga lama, harus belajar lagi, baca-baca. Karena itulah aku jadi jarang upload-nya karena kesulitannya itu, dengan kualitas baik," jelasnya.
Adapun video dengan penonton terbanyak ialah saat ia menjelaskan tentang corona dengan penonton sebanyak 255 ribu orang. Sedangkan tentang cuci tangan ditonton lebih dari 255 ribu orang.