Suara.com - Bukan hal yang mudah berurusan dengan virus dalam keseharian, apalagi menjadikannya sebagai pekerjaan.
Orang yang ahli dalam virologi atau ilmu virus perlu mengabdikan dirinya untuk mempelajari tentang segala macam jenis hingga sifat mikroorganisme tersebut.
Hal itulah yang dilakukan drh Moh Indro Cahyono selama lebih dari 15 tahun. Sejak 2006, lulusan Universitas Gadjah Mada itu bergabung dengan Badan Penelitian Veteriner (Balitvet) di Bogor.
Memiliki latar belakang pendidikan dokter hewan dan pengalaman kerja lapangan selama lima tahun, Indro dipercaya untuk menjadi peneliti di laboratorium virologi. Dari sana lah petualangannya bersama virus berawal.
Baca Juga: Meski Terinfeksi Virus Corona, Hewan Tidak Akan Sakit Covid-19
"Itu lembaga penelitian punya Kementerian Pertanian, sebagai lab referensi penyakit hewan nasional. Kemudian saya jadi peneliti di sana, di lab virologi," cerita Indro kepada Suara.com, Sabtu (28/3/2020).
Istilah virolog memang masih asing di telinga masyarakat. Bahkan menurut Indro, di Indonesia sendiri virolog (ahli atau pakar virus) yang ada tidak lebih dari empat orang.
"Virolog bagi saya gini, orang yang mempelajari virus secara langsung. Jadi, kita datang ke lokasi wabah, ngambil virusnya, ekstrak virusnya, isolasi virus, mempelajari langsung, sifat virusnya kaya gimana, nyerangnya lewat apa, infeksi gimana. Kemudian cara kita bikin vaksin, bikin antivirus, bikin alat pengujiannya. Nah, virolog seperti itu tidak akan lebih dari empat orang," tuturnya.
Bukan Pekerjaan Manusia Normal
Indro telah menghabiskan waktunya selama 15 tahun untuk menjadi peneliti virus. Baginya, pekerjaan sebagai peneliti memang bukan untuk manusia normal.
Baca Juga: Peneliti Surabaya Temukan Obat Virus Corona, Akan Diproduksi Massal
"Menjadi peneliti itu bukan pilihan hidup untuk manusia normal. Nggak ada manusia waras jadi peneliti. Karena kita akan menghabiskan seluruh hidup kita untuk belajar, untuk meneliti, dan meneliti itu tidak pernah ada uangnya. Malah kita menghabiskan uang kita," ungkapnya blak-blakan.
Indro yang masih berstatus sebagai mahasiswa Ilmu Virologi di Universitas Adelaide, Australia ini bahkan mengungkapkan, pernah menghabiskan biaya pribadi hingga Rp 18 juta untuk menemukan virus hepatitis pada bebek.
Kebanyakan biaya tersebut, sambung dia, habis untuk membeli bahan-bahan penelitian seperti telur spesifik patogensi (SPF) atau telur spesifik anti gen negatif (SAN).
Ia mengungkapkan, satu telur tersebut dijual dengan harga antara Rp 20 ribu hingga Rp 40 ribu. Sedangkan dalam penelitian menemukan virus dibutuhkan puluhan sampai ratusan telur untuk memperbanyak virus.
"Jadi, lebih karena passion saja makanya bertahan. Untuk tahun awal memang hidupnya susah sekali karena kita nggak punya pemasukan," bebernya lagi.
Namun setelah banyak dikenal orang, Indro sering diminta banyak peternak untuk menangani wabah virus. Juga sejumlah perusahaan yang memakai jasanya sebagai konsultan laboratorium.
Selanjutnya: Diskriminasi karena bela peternak
Ketika diminta oleh peternak, Indro akan datang ke lokasi wabah. Kemudian selama 2-3 jam, ia akan melihat virus apa yang ada di tempat tersebut, mencari sumber virus, menentukan penangannya, hingga tindakan yang harus dilakukan pasca wabah.
"Kemarin di Bali saya tidur di samping kandang babi hanya untuk mengamati. Virus babi itu menyebarnya gimana sampai babi mati. Saya selalu datang ke lokasi wabah dan saya harus melihat," cerita Indro.
Berbagai virus pada hewan telah ditangani Indro. Mulai dari sapi, babi, anjing, kucing, ayam, bebek, sampai hampir semua jenis burung. Dan sekarang, dirinya mulai mempelajari virus corona yang menyebabkan wabah covid-19 pada manusia.
Diskriminasi Karena Bela Peternak
Lebih dari satu dekade mengabdikan diri pada lembaga di bawah pemerintah untuk meneliti virus, Indro sadar betul bahwa tugasnya adalah melayani masyarakat.
Karena itu, ia tidak segan membantu langsung para peternak yang mengalami wabah virus. Meski Indro harus menerima ganjaran sidang disiplin dari tempatnya bekerja.
Birokrasi yang sulit memaksa Indro melakukan hal tersebut. Sehingga setiap kali wabah terjadi di daerah penanganan selalu terlambat dilakukan.
"Kalau misalnya, dengan kondisi dulu ya, ada wabah di peternak itu ditangani di daerah, kalau nggak bisa ditangani dibawa ke lab daerah. Dari lab daerah nggak bisa atasi, dibawa lagi ke lab pusat. Kalau nggak bisa nangani lagi baru dibawa ke Balitvet. Dan itu perlu waktu lama. Seringkali dua minggu dan biasanya juga penyakit yang ada di peternak jarang sekali mendapat reaksi cepat dari birokrasi yang di sana. Kecuali kalau ada ekspos media," ungkapnya panjang lebar.
Tak jarang peternak langsung menelepon dirinya untuk menangani wabah. Namun sadar birokrasi yang ada terlalu sulit, Indro pergi ke lokasi wabah tanpa izin dari Balitvet.
"Dari Balitvet di kantor Bogor, pejabat yang ada di sana selalu melakukan hal itu karena dianggap melanggar disiplin. Umum ya biasanya satu bulan atau dua minggu sekali biasanya saya dipanggil buat di sidang di sana. Bukan masalah buat saya juga," tuturnya.
Pada sekitar tahun 2018, Indro pun memilih keluar dari Balitvet dan menjadi peneliti di kantor swasta.
Selanjutnya: Membantu penelitian virus corona
Membantu Penelitian Virus Corona
Di tengah wabah virus corona saat ini, Indro mengungkapkan akan membantu melakukan penelitian. Hanya saja pemerintah Indonesia belum melakukan hal tersebut.
Penelitian baru dilakukan secara mandiri oleh LIPI dan lembaga Eijkman yang juga belum memiliki virus Covid-19.
"Karena tidak ada satu pun yang punya virusnya. Apa yang mau diteliti? Dari seluruh ilmuwan yang ada di Indonesia coba deh ada nggak yang punya virusnya? Nggak ada sama sekali," tuturnya.
Menurutnya, virus Covid-19 tidak didapatkan karena belum ada yang bisa melakukan isolasi virus tersebut.
"Ya mungkin kalau mereka minta tolong untuk isolasi mungkin saya bisa untuk isolasi. Tapi mereka nggak minta tolong kok," ucapnya.
Indro menjelaskan bahwa virus corona bisa diambil sampelnya dari manusia. Melalui uji PCR, virus diambil kemudian dilakukan isolasi terhadap virus tersebut.
"Itu bisa macam-macam, bisa dikultur sel, biasanya kita pakai sel vercob untuk menumbuhkan virusnya. Nah, nanti kita bisa melihat sifat virusnya," jelas Indro.
Jika sifat virus berhasil dipelajari maka vaksin pun bisa dibuat, lanjutnya. Setelah itu antivirus juga bisa dibuat dalam waktu dua bulan. Dalam rentang waktu dua bulan tersebut, dimungkinkan untuk membuat alat deteksi seperti rapid test.
"Kalau saya dikasih izin untuk lakukan itu, bekerjasama lakukan itu, iya bisa. Kalau enggak ya sudah, coba aja cari lain ada lagi nggak yang bisa isolasi virus gitu," tukasnya.
Meski begitu, Indro menilai pemerintah sudah melakukan langkah yang tepat dalam penanggulan penyebaran virus Corona Covid-19
Hanya saja ia menyarankan agar pemerintah lebih tegas terhadap pelaku penyebaran hoaks terkait Corona Covid-19. Juga dalam menentukan sikap terkait perbatasan ruang gerak wilayah agar tidak membuat masyarakat bingung dan semakin panik.
"Tutup dan kemudian penjarakan pembuat hoaks. Juga menentukan sikap tegas, berdasarkan data ilmiah apa yang ada, kita tidak memungkinkan untuk lockdown ya bilang tidak usah lockdwon. Karena kalah tidak itu akan dirong-rong. Karena ini masalahnya bukan virus lagi. Udah mulai masuk masalah politik," kata Indro.