Suara.com - Belum lama ini, nama Hana Alfikih atau yang lebih dikenal sebagai Hana Madness, cukup melambung, terutama di kalangan seniman. Coretan gambarnya yang unik, dengan karakter-karakter monster lucu dan warna-warna yang mencolok, menjadi khas tersendiri.
Tapi sipa mengira, di balik keriaan itu, Hana, panggilannya, harus berjibaku selama kurang lebih delapan tahun mengatasi gangguan mental yang diidapnya. Menggambar selama ini menjadi 'tempat pelarian' di kala ia merasa dirinya mulai 'kambuh'.
Sejak SMP, Hana mengaku sudah mulai tekun menggambar. Ia sering mencoret-coret di jurnalnya, di buku sketsa, dan buku-buku sekolah. Hal ini berlanjut hingga bangku SMA.
Namun justru di masa-masa itu ia sedang berjuang melawan entah apa yang terjadi pada dirinya. Ia sudah merasa ada yang tidak beres pada dirinya, ditambah dengan banyak konflik dengan keluarga.
Baca Juga: Disulap Seniman, Masker N95 Jadi Keren Bak Lampu Disko
"Terus aku minim teman sebaya, aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Aku jarang banget pulang ke rumah. Gambar-gambar itu jadi pelarian, sih," kata Hana saat berbincang dengan Suara.com beberapa waktu lalu.
Baginya tak ada pilihan lain. Sekolahnya cukup berantakan, bahkan ia menjadi contoh buruk di sekolah. Selain menggambar, Hana juga suka menulis puisi-puisi bertema gelap.
Beberapa kali percobaan bunuh diri juga dilakukan Hana. Ketika depresinya kambuh, ia menjadikan tantrum sebagai tameng dirinya menghadapi masalah.
Hana mengaku dirinya kesepian, ada sosok yang hilang dan tak ada role model. Seringkali ia merasa membenci dirinya sendiri, membeci orangtuanya, dan bahkan terbanjiri oleh pikiran-pikiran tak masuk akal yang terasa nyata untuknya.
"Itu tertanam sebenarnya. Bibit-bibitnya sudah ada, dan itu jadi monster dalam diriku hingga saat ini," lanjut perempuan kelahiran tahun 1992 ini.
Baca Juga: Identik dengan Nyentrik, Benarkah Seniman Rentan Alami Gangguan Mental?
Titik balik dimulai saat ia pindah sekolah saat SMA. Meski sekolahnya masih berantakan, ia mulai melihat adanya prestasi dan mulai berfokus pada dunia menggambar.
Dimulai dengan keresahan saat tak memiliki uang, ia mulai ditawari untuk mendesain beberapa permintaan teman. Ia juga memercayai ungkapan 'banyak teman, banyak rezeki', sehingga kariernya di dunia desain pun dimulai.
Saat mendekati kelulusan SMA, gambarnya bahkan sudah dicetak di ratusan ribu sebuah merek korek api. Ia juga aktif ikut pameran, dan sebagainya.
"Padahal Mama sudah mewanti-wanti nggak boleh ada yang jadi seniman di keluarga. Di keluarga besar aku, kayaknya cuma aku yang seniman," kata Hana.
Namun Hana masih terus dihantui oleh monster di dalam dirinya. Akhirnya ia memberanikan diri ke psikiater dan mendapatkan diagnosis pertamanya di tahun 2012, lalu mendapatkan perawatan.
Tahun 2013 ia sempat dirawat di bangsal kejiwaan RSCM dan didiagnosis skiazoafektif. Usai dirawat, psikiater memberikan tegak diagnosa bahwa Hana mengidap gangguan bipolar tipe 1 dan gangguan psikotik.
"Banyak dosa besar yang aku lakukan dalam hidupku, hingga aku menemukan hal-hal itu sebagai sebuah terapi," aku Hana.
Kini nama Hana semakin dikenal, banyak orang mengapresiasi hasil karyanya. Makin banyak merek-merek terkenal yang ingin bekerjasama menggunakan desainnya. Tiga tahun belakangan ini diakuinya ia cukup intens bekerja.
Sesekali, seperti seniman pada umumnya, Hana menemui jalan buntu. Namun ia tak perlu khawatir dengan hadirnya pasangan yang selalu menemaninya dari awal sebagai seorang caregiver hingga ke jenjang pernikahan.
"Dia kayaknya udah kasihan lihat aku nangis terus tanpa sebab, histeris, sering nyakitin diri. Disodorin kanvas, dikasih banyak warna, di situ aku mulai main warna," kisahnya.
Gambar-gambarnya pun bermetamorfosis, dari yang sebelumnya sangat gelap, menjadi berwarna. Dari yang sebelumnya hanya coretan, lalu dipindai dan diwarnai di komputer, kini sudah menggunakan media canvas.
Ia juga menggunakan Hana Madness sebagai nama 'panggungnya'. Alasannya, ia menyukai band asal Inggris bernama sama dan merasa cukup unik karena sesuai dengan kondisi mental dirinya.
Hana menyebut kini ia sedang berada dalam titik terbaik dirinya. Ia berdamai dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya, bahkan hubungan mereka sangat membaik dan sudah mulai saling mendoakan.
"Aku bersyukur sih, tapi aku masih berjuang ya sampai sekarang. Aku ada di titik terbaik dalam hidup aku," ungkap Hana.
Ia juga menjadikan gambarnya sebagai salah satu jalan untuk mengadvokasikan kesehatan jiwa kepada siapapun. Ia telah berkeliling Indonesia seperti kota Ambon, Palu, Semarang, Malang, bahkan ke luar negeri seperti Jerman, Korea, Jepang, dan Inggris.
Hana kini sedang kembali menjalani pengobatan, tapi ia merasa jauh lebih baik dan bersyukur karena gejala-gejalanya sudah sangat berkurang ia rasakan.
Ia juga tak ingin ada lagi stigma mengenai kesehatan jiwa yang erat dengan seniman. Baginya mungkin karena seniman dekat dengan perfeksionisme dan kompleksitas, serta dituntut untuk terus menghasilkan sesuatu sehingga ada tekanan dalam dirinya.