Suara.com - Jakarta ditetapkan sebagai daerah tanggap darurat bencana virus corona Covid-19 oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Jumat (20/3/2020).
Untuk menekan semakin meluasnya penularan Virus Corona Covid-19, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuturkan Jakarta saat ini masih dalam tahap pembatasan interaksi sosial dengan cara menutup sementara tempat wisata dan hiburan, pembatasan transportasi umum, dan meliburkan atau membatasi kegiatan perkantoran selama dua minggu.
“Seluruh kegiatan perkantoran ditutup sementara. Begitu juga fasilitas operasional dan melakukan kegiatan berusaha dari rumah,” kata Anies di seruan gubernur No.6 tahun 2020
Baca Juga: Positif Virus Corona, Artis Andrea Dian Awalnya Didiagnosa Demam Berdarah
Bagi perusahaan yang tidak dapat menghentikan total kegiatan perkantorannya, diminta untuk mengurangi kegiatan dalam batas minimal. Baik dalam jumlah karyawan,waktu kegiatan maupun fasilitas operasional. Anies mendorong sebanyak mungkin karyawan untuk bekerja dari rumah.
Seruan itu berlaku 14 hari, mulai 20 Maret 2020 hingga 2 April 2020.
Beberapa alasan ini merujuk pada penguncian sebagian atau soft lockdown. Bukan lockdown penuh karena ada beberapa aspek yang belum diterapkan.
Lantas, apa kata warga Jakarta dan sekitarnya alias Jabodetabek yang setiap hari bersinggungan dengan ibu kota untuk mencari nafkah?
Simak pendapat warga Jabodetabek dari berbagai profesi menanggapi kebijakan yang dikeluarkan Gubernur DKI Anies Baswedan yang menetapkan status Jakarta Darurat Corona di halaman berikutnya.
Baca Juga: Kabar Gembira! Kondisi Dokter Handoko Gunawan Dikabarkan Membaik
Tidak Semua Pekerjaan Bisa dari Rumah
Lena Andriyani (27) yang sehari-hari bekerja di bidang perbankan mengaku setuju dengan keputusan tersebut.
Menurutnya upaya soft lockdown maupun lockdown sangat penting dilakukan demi memutus rantai penularan virus Corona Covid-19, termasuk menutup aktivitas perkantoran.
Namun sayangnya tidak semua bisa begitu saja ditutup, mengingat jenis ada pekerjaan yang mengharuskan ke kantor atau ke lapangan.
"Setuju sih, cuman kalau untuk saya pribadi karena pelayanan. Jadi, kayaknya nggak mungkin, karena saya melayani publik kayaknya bakal sulit," ungkapnya kepada Suara.com, Sabtu (21/3/2020)
Meski Lena sendiri mengakui di dunia perbankan memang mengenal istilah mobile m-banking tapi sayangnya tidak semua transaksi bisa dilakukan dengan internet. Misalnya saja transaksi atau pengambilan dana dalam jumlah besar, maka para nasabah harus datang langsung ke bank cabang.
Hal ini diamini oleh Tiara yang bermukim di Tebet, Jakarta Selatan.
Ia yang berprofesi sebagai jurnalis di media online menyoroti tidak semua bidang pekerjaan bisa dikerjakan di rumah.
Ada beberapa pekerjaan yang hanya bisa dikerjakan dengan datang langsung ke kantor atau tempat kerja.
"Iya setuju untuk menghentikan perkantoran, terutama di bidang jasa. Tapi banyak juga 'kan perusahaan jenis yang lain, yang bisa kerja di rumah saya setuju," terangnya.
Efektif Cegah Penularan dan Pertanyakan Prosedur
Hal senada dikemukakan pula oleh Bimo Fundrika (26) yang bekerja di salah satu industri penyiaran di Jakarta.
Ia mengaku setuju dengan adanya pembatasan aktivitas publik di perkantoran, karena efektif mencegah atau menurunkan risiko penularan Covid-19 lebih cepat.
"Karena pembatasan ini jadi salah satu cara untuk mencegah penularan kalau dilihat negara lain. Mereka yang bisa melakukan pembatasan bisa menekan beberapa persen penularan itu. Tapi harus diiringi dengan imbauan juga yang jelas," jelas Bimo.
Namun menurut Abdul Haris (25) yang bermukim di Pluit, Jakarta Utara, jika pun setuju dengan pembatasan kegiatan atau soft lockdown yang ditetapkan Pemprov DKI, ia mempertanyakan mekanisme dan prosedur yang ditetapkan seperti apa.
"Soft lockdown, gue nggak tahu nih bedanya dengan lockdown tuh apa, karena lockdown sendiri belum dipikirkan oleh pemerintah karena berdampak banget pada faktor ekonomi," ungkap Abdul Haris yang berprofesi sebagai penulis.
Kerja di Rumah Tidak Selalu Efektif
Pemberlakuan work from home (work of home) menjadi salah satu yang terpenting saat soft lockdown ini dijalankan.
Tentu saja itu artinya semua harus dikoordinasi dengan jarak jauh melalui internet, dan faktanya tidak semudah itu.
Yuyun Wahyuningsih (27) misalnya, yang bekerja sebagai karyawan bidang finansial dan marketing di bilangan Blok M, Jakarta Selatan. Ia yang mulai bekerja dari rumah di Bekasi mengaku kesulitan dalam hal koordinasi.
"Ada setuju dan tidaknya kita sebagai warga Indonesia. Artinya bantu tidak menyebarluaskan atau mencegah si covid-19. Nggak setujunya kerja di rumah koordinasinya jadi susah," kata Yuyun saat ditemui Suara.com di kediamannya, Sabtu (21/3/2020).
Meski setuju dengan kebijakan pembatasan interaksi ini, Yusuf Fadillah yang hidup merantau di ibu kota dari Bandung sebagai editor video di salah satu production house (PH) mengaku merasa terhambat dengan fasilitas pekerjaannya yang ada di kost dan kantor.
"Tentu nggak efektif, karena yang kita kerjakan di rumah ini tentu fasilitasnya tidak semumpuni fasilitasnya yang ada di kantor," aku Yusuf.
Fakta ini juga dirasakan Tiara yang bekerja dari rumah.
Suasana rumahnya yang tidak kondusif, seperti anggota keluarganya yang juga punya kegiatan di rumah, dan anak-anak yang libur sekolah, sehingga suasana rumah jadi ramai. Kondisi tak mendukung inilah menurut Tiara mengganggu konsentrasinya saat melakukan tugasnya di rumah.
"Nggak efektif, kerja di rumah karena banyak gangguan. Adik saya dari sekolah belajar di rumah jadi interaksi dengan orang rumah jadi lebih besar sebelumnya jarang ketemu," tutup Tiara.