Suara.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut, Indonesia belum mampu mewujudkan kesetaraan gender terutama dalam bidang pekerjaan jurnalistik.
Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia Endah Lismartini mengatakan, di Indonesia hanya ada 30 sampai 35 persen perempuan yang bekerja sebagai jurnalis secara profesional.
Bukan hanya ketimpangan dari jumlah, menurut Endah, jurnalis perempuan juga rentan mengalami diskriminasi di tempatnya bekerja seperti upah yang tidak setara dibandingkan laki-laki. Sebab perempuan umumnya memiliki jabatan di bawah laki-laki.
"Isu kedua, pembedaan jenis pekerjaan," kata Endah dalam diskusi 'Mengevaluasi Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Apakah Sudah Setara?' di Jakarta, Minggu (8/3/2020).
Baca Juga: Polisi Amankan Ririn Ekawati Semalam Atas Laporan Warga
Ia menjelaskan, perempuan yang sudah menikah dan punya anak biasanya akan dipindahkan ke agenda liputan yang lebih soft atau santai. Sementara kanal politik, hukum yang dirasa lebih 'berat' akan dipercayakan kepada jurnalis laki-laki.
"Mereka dipindahkan bukan karena kapabilitas tapi karena sudah punya anak," kata Endah.
Pelecehan seksual juga jadi isu ketiga yang rentan dialami perempuan. Endah mengungkapkan, bahkan pelecehan bukan hanya dilakukan atasan atau rekan kerja tapi juga narasumber.
"Teman saya jurnalis di daerah bahkan pernah mengalaminya dari aparat negara. Saat dia liputan demo, lalu dikejar-kejar dan dilecehkan. Memang tidak sampai ada pemerkosaan tapi tetap pelecehan," tutur Endah.
Fasilitas tak memadai dari kantor juga kerap dirasakan perempuan. Menurut Endah masih sedikit perusahaan yang memberikan cuti haid di luar cuti tahunan.
Baca Juga: ABG si Pembunuh Bocah 6 Tahun Suka Siksa Hewan, Benarkah Ciri Psikopat?
Selain itu ruang laktasi untuk ibu menyusui dan tempat penitipan anak yang minim disediakan.
"Terakhir beban ganda. Stigma masyarakat masih perempuan hanya pengurus rumah tangga dan itu justru akan didukung oleh RUU ketahanan keluarga. Itu harus kita lawan," tutupnya.