Suara.com - Tumbuh besar di keluarga penghasil jamu, membuat Aafiyah Nuur Aini punya kecintaan khusus pada minuman asli Indonesia itu. Meski zaman terus berkembang, Aafiyah yakin jamu masih banyak diminum masyarakat hingga saat ini.
Hal itu yang membuatnya yakin untuk meneruskan usaha berjualan jamu yang telah ditekuni oleh kakeknya. Tak mau sekadar berjualan, perempuan 25 tahun itu bercita-cita ingin memiliki rumah jamu yang juga bisa memberikan edukasi untuk masyarakat.
"Seiring perkembangan zaman, jamu masih dikonsumsi. Tapi banyak juga yang nggak tahu tentang jamu," katanya kepada Suara.com ketika ditemui di Fusion Hub, Tebet, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Tak Mau Bergantung dengan Uang Hasil Mengajar
Baca Juga: Punya Cita Rasa Unik, Jamu Indonesia Berpotensi Besar untuk Mendunia
Serius berjualan jamu sebenarnya baru ditekuni Aafiyah sejak Febuari 2019. Ia memutuskan untuk melanjutkan berjualan jamu yang dilakukan sang ibu sejak 1983.
"Berdirinya jamu 'Warisan 1983' berawal dari kakek saya, namanya Suminto. Ia berjualan di Sukoharjo. Lalu diteruskan ibu saya (mulai berjualan) tahun 1983. Akhirnya saya memutuskan memberi nama 1983," cerita Aafiyah.
Bukan hanya untuk meneruskan usaha keluarga, Aafiyah yang saat ini berprofesi sebagai guru di SMK Agribisnis dan Agroteknologi Amerta, Mega Mendung, Bogor itu ingin tetap melestarikan jamu di masyarakat. Ia juga mengaku, tak mau hanya bergantung dengan penghasilan hasil mengajarnya.
Sekolah tempat mengajarnya pula yang menjadi gerbang pembuka bagi Aafiyah memasarkan jamu. Berawal dari hanya delapan botol, jamu buatan Aafiyah direspon positif oleh rekan sesama guru.
Sejak itulah rasa percaya dirinya terus tumbuh. Hingga ia mulai berani memperluas produknya dengan membuka bazar saat acara-acara di kampus seputaran Bogor.
Baca Juga: Agar Tak Tergerus Zaman, Kilala Tilaar Usulkan Jamu Jadi Mata Kuliah
Rasa percaya diri itulah yang menjadi benteng bagi Aafiyah saat mendapat ledekan dari teman-temannya. Stigma kuno yang melekat pada jamu, membuat tak sedikit orang-orang yang bertanya mengapa ia memilih berjualan jamu.
"Di sekolah (diledekin), mba jamu, mba jamu gitu. Tapi saya nggak ngerasa gimana gitu. Karena saya memperjuangkannya susah, karena jamu saya bisa bertahan hidup. Jadi omongan itu udah nggak kena aja," tuturnya.
Berkat kerja kerasnya, saat ini Aafiyah telah memiliki beberapa reseller untuk membantunya berjualan. Menurutnya, kunci agar produknya tetap berjalan adalah konsisten, komitmen, juga percaya diri.
Buat Resep Terobosan Demi Gaet Milenial
Kebanyakan resep jamu yang dibuatnya memang didapat Aafiyah turun temurun dari sang ibu. Seperti kunyit asem, beras kencur, temulawak, rosella, sinom, temulawak, sari anggur, paitan, daun sirih, hingga daun kelor.
Ia sendiri mengaku belajar otodidak karena sejak kecil sering melihat ibunya meracik jamu.
Sadar jamu tidak terlalu populer di kalangan anak-anak muda, terlebih rasa jamu yang identik dengan pahit, Aafiyah tak kehabisan ide. Sarjana Teknologi Pangan Universitas Juanda Bogor itu pun membuat menu terobosan yang bisa dinikmati generasi milenial.
"Saya pikir anak-anak milenial nggak terlalu masuk sama kunyit, jadi saya coba lemon sereh. Kalau rosella saya tambahin daun mint, ada lagi bunga telang. Memang nggak semua harus suka kunyit asem. Karena pada dasarnya kunyit itu ada getirnya," katanya.
Diakuinya, tak mudah melestarikan jamu di era sekarang. Jamu masih kalah populer dengan minuman manis seperti boba.
Aafiyah akhirnya memanfaatkan media sosial sebagai wadah pelestarian jamu kepada anak-anak muda agar lebih mudah tersampaikan.
"Yang bikin pusing bikin konten ya. Paling saya meng-guide-nya dengan bikin foto yang bagus. Kalau ada ide juga bikin video iklan pendek. Kerjasama sama temen saja yang saling support," tuturnya.
Belum Tahu Apakah Bisnis Jamu Menjanjikan
Walaupun turut menggantungkan hidupnya dengan berjualan jamu, Aafiyah tidak bisa memastikan seberapa besar bisnis itu menjanjikan. Sebab menurutnya jangkauan konsumen jamu cukup pendek.
Meski begitu, Aafiyah yakin jamu akan tetap diminum sampai kapan pun. Baginya, jamu layaknya kebutuhan untuk manusia. Seperti manusia yang akan selalu membutuhkan makanan.
"Dulu waktu pas saya kecil jamu ada. Pas saya sudah besar pun jamu masih ada. Berarti nanti pun gitu. Sekarang saja jualan jamu masih ada yang beli. Berarti nanti berpuluh-puluh tahun saya jualan jamu masih ada yang minum," tuturnya.
"Jamu itu untungnya lumayan untuk satu botol. Asalkan kita konsisten. Tapi tiap minggu sih pasti ada aja (yang pesan)," tambahnya.
Anak kedua dari tiga bersaudara itu menargetkan ke depan produk jamunya bisa semakin berkembang dengan melalui uji klinis di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), agar bisa merambah ke pasar yang lebih luas.