Suara.com - Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf modern asal Jerman ini lahir dalam keluarga yang aktif di gereja Lutheran. Ayahnya seorang pendeta. Tapi, di akhir usia belasan Nietzsche meninggalkan kuliah teologinya.
Tahun 1865, Nietzsche yang kritis terhadap persoalan agama benar-benar meninggalkan agamanya (Kristen). Protesnya tertuang dalam karya klasik berjudul "Zarathustra" yang sangat terkenal dengan ungkapan "Tuhan telah mati".
Esai panjang ini menceritakan kisah seorang tokoh manusia bernama Zarathustra dalam pengembaraannya mencari "manusia unggul". Buku ini terdiri dari empat bagian dengan prolog yang menceritakan tokoh bernama Zarathustra.
Menariknya, Zarathustra sebenarnya adalah pendiri agama kuno Persia yang keberadaannya disangsikan oleh para ilmuwan abad kesembilan belas.
Baca Juga: Jenazah Qassem Soleimani Dimakamkan Usai Iran Tembaki Pangkalan Militer AS
Nietzsche mengatakan, "Zarathustra adalah yang pertama pertama melihat bahwa pertempuran antara yang baik dan jahat itu adalah roda yang menggerakkan segalanya."
Menurutnya, Zarathustra lebih jujur ketimbang pemikir lainnya. Maka, Nietzsche memakai nama Zarathustra sebagai tokoh dalam bukunya.
Tapi Zarathustra di buku ini bukan berbicara agama kuno Persia. Nietzsche menciptakan Zarathustra versinya sebagai tokoh manusia yang mengembara mencari "manusia unggul".
Pengembaraan ini didorong oleh kemunduran religius, moralitas, dan intelektualitas manusia-manusia lama. Zarathustra berjalan dengan sabdanya yang bercerita banyak hal tentang kehidupan cinta, nilai-nilai kebajikan, persahabatan, kegembiraan, kesedihan, budaya, politik, dan negara dengan segala kebobrokannya.
Buku "Zarathustra" masih relevan dibaca di abad 21 di mana isu agama dan ketuhanan sering dipersoalkan hingga berujung konflik. Mulailah mengembara!
Baca Juga: Tepergok Rekam Polwan Sedang Mandi, 2 Polisi Diarak Keliling Markas