Suara.com - Cerita Anak Taman Baca Batara, Putuskan Sendiri Kegiatan Seru Hari Minggu
Dibalik rak triplek putih berisi buku-buku, Herfan Efendi (14), mengetuk-ketuk angklung mengalunkan Impen-impenan. Kawan-kawannya yang datang ikut bermusik di bawah pondokan segi enam itu, atau bermain egrang, gasing kayu, dan yoyo di halaman.
Di halaman itu pula berdiri papan nama dari anyaman bambu yang bertuliskan Kampung Batara. Ialah akronim dari Kampung Baca Taman Rimba yang terletak di Lingkungan Papring, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi.
"Awalnya tidak ada rencana membangun taman baca begini. Saya hanya mengajak bermain beberapa anak saudara dan tetangga," Widie Nurmahmudy (40) bercerita saat memulai kegiatan 4 tahun lalu, saat ditemui Minggu (19/1/2020).
Baca Juga: Hore! Taman Baca di Indonesia akan Dapat Rak dan 70 Ribu Buku Gratis
Tahun 2015 di kampung pinggir Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani Banyuwangi Utara itu, pernikahan dini dan anak putus sekolah sering terjadi. Pendidikan yang rendah dan lokasi kampung yang jauh dari kota membuat warga minder dan anak-anak tak berani bertemu orang baru.
Anak perajin besek bambu itu lalu membongkar koleksi bukunya, membagi pengetahuan dan melaksanakan berbagai permainan tradisional. Tak ingin membebani anak-anak dengan jadwal wajib, dia menawarkan beberapa jenis kegiatan agar sobat-sobat kecil yang memutuskan.
Kini tak jarang anak-anak saling bersahutan menyatakan pendapat untuk kegiatan setiap hari Minggu itu. Setelah sepakat, pukul 9.00 WIB, sekitar 30 anak itu kompak melaksanakannya hingga bubar tengah hari.
"Selama 6 hari sebelumnya mereka sudah terpaku pada jadwal dan pelajaran di sekolah. Jadi di sini mereka bisa memutuskan sendiri mau melakukan kegiatan apa," kata Widie.
Sering juga datang tamu dengan aneka ragam pengetahuan dan keterampilan yang lalu diminta mengajar. Jadwal kegiatan kemudian mengikuti pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan sang tamu.
Baca Juga: Suaranya Semangat Banget, Video Polisi Belajar Iqra Ini Jadi Sorotan
Sebut saja Didik Nini Thowok, Fitri Carlina, Abdon Nababan, dokter, ahli capung, dosen bahasa Inggris dan pegiat permainan tradisional pernah datang. Hari ini mereka mendapatkan tamu Sanggar Seni Joyo Karyo Banyuwangi dan belajar musik etnik, yang didukung Dewan Kesenian Blambangan (DKB).
Adlin Mustika Alam pelatih yang didatangkan Joyo Karyo mengenalkan anak-anak Kampung Batara pada notasi nada. Pola bermusik anak-anak Batara yang awalnya meniru bunyi berdasarkan bakat alami, diperkenalkan pada pembacaan notasi angka.
Dia menuliskan dua bar notasi di papan putih untuk aransemen lagu Cengkir Gading dan memandu anak-anak membawakannya secara harmonis. Joyo Karyo meminjamkan satu set gamelan, dan mendatangkan personil remaja yang mendampingi sobat cilik Batara.
"Jarang ada anak-anak berani bernyanyi dan menari seperti tadi. Biasanya kan nggak mau, atau lari," kata Adlin yang juga arranger musik pengiring Gandrung Sewu 2019 itu.
Koordinator Pusat Layanan Konseling dan Difabilitas LP3M Universitas Negeri Jember (Unej) Senny Wiyara Dienda Saputri mengatakan latihan pengambilan keputusan baik untuk anak. Dampak positifnya, mereka jadi terbiasa berpikir logis, memahami konsekwensi, berani mengambil risiko, melatih kepemimpinan dan berempati.
Diakuinya di lingkungan sekolah formal maupun keluarga, mereka nampak tidak berkesempatan berlatih mengambil keputusan. Di kelas maupun di rumah sendiri berbagai hal yang harus dan jangan dilakukan diatur secara ketat oleh guru dan orang tua.
"Anak usia 4 atau 5 tahun penting untuk kita ajak membuat pilihan, kemudian mengambil keputusan, dan bertanggung jawab atau konsekwen. Kalau yang tidak terbiasa akan mengambil keputusan berdasarkan like and dislike," kata Senny saat dihubungi, Senin (20/1/2020).
Namun pengambilan keputusan oleh anak secara berkelompok membutuhkan bimbingan yang berbeda. Anak yang paling dominan, seperti Fendi, harus dibimbing untuk menjadi pemimpin yang baik, dengan menanyakan pendapat anggota-anggota kecilnya.
Bila pilihan-pilihan dilepas kepada mereka begitu saja, anak-anak besar yang akan mengambil keputusan tanpa berempati pada yang kecil. Dominasi anak-anak besar yang tidak disertai empati bisa menyebabkan mereka berlaku narsis dan yang kecil bertindak nakal.
"Kalau tidak diberi pengakuan, anak-anak akan menggunakan cara lain untuk mendapatkannya, yaitu berkelakuan nakal. Kalau didengar, mereka akan merasa diakui," kata Dosen Pendidikan Guru PAUD FKIP Unej itu.
Dijelaskannya di beberapa sekolah di luar negeri telah menerapkan latihan siswa berdiskusi untuk mengambil keputusan. Hasilnya tindakan-tindakan nakal mereka dirasakan menurun oleh sekolah.
Kampung Batara berhasil membentuk keberanian anak-anak kampungnya, bahkan tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Agustus 2019. Mereka juga melatih anak-anak mengambil keputusan bersama, menentukan kegiatan seru apa yang akan dikerjakan minggu itu.
"Banyak keinginan yang sudah dan belum tercapai, misalnya anak-anak belajar kesenian sudah berjalan. Mereka sekarang masih SD dan SMP, saya ingin mencarikan beasiswa untuk mereka sampai lulus kuliah," kata Widie sang pendiri taman baca.
Kontributor : Ahmad Su'udi