Ikan Ayu, Kimono, dan Heningnya Iyashi No Sato Nenba di Kaki Gunung Fuji

Vania Rossa Suara.Com
Jum'at, 27 Desember 2019 | 15:09 WIB
Ikan Ayu, Kimono, dan Heningnya Iyashi No Sato Nenba di Kaki Gunung Fuji
Iyashi No Sato Nenba di Kaki Gunung Fuji. (Suara.com/Vania Rossa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Suhu minus 1 derajat Celcius menyambut ketika Suara.com menyambangi Iyashi No Sato Nenba, meski saat itu waktu menunjukkan pukul 10 pagi dan matahari bersinar cukup cerah. Tenang dan asri, begitulah kesan yang didapat ketika kaki melangkah memasuki gerbang desa tradisional yang terletak di kaki Gunung Fuji ini. Cenderung hening, malah, meski saat itu rombongan wisatawan cukup ramai mengunjungi desa itu

Deretan rumah kayu tradisional Jepang beratap jerami terhubung dengan jalan-jalan setapak yang berundak. Ditambah dengan pemandangan puncak Gunung Fuji yang berselimut salju tepat di depan desa, Iyashi No Sato Nenba memang layak diberi julukan 'healing village'. Berjalan perlahan di desa yang berlokasi di Yamanashi ini, seakan terbawa aura teduh yang mengusir segala penat dan jenuh.

Bekas Desa Pertanian

Baca Juga: Kaki Gunung Fuji, Tempat Pengujian Jaringan International Roaming Smartfren

Rumah tradisional di Iyashi No Sato Nenba di Kaki Gunung Fuji. (Suara.com/Vania Rossa)
Rumah tradisional di Iyashi No Sato Nenba di Kaki Gunung Fuji. (Suara.com/Vania Rossa)

Sebelum menjadi tempat wisata, Iyashi No Sato Nenba yang berlokasi di tepi barat Danau Saiko merupakan sebuah desa pertanian. Namun, desa ini hancur akibat tanah longsor saat terjadi angin topan tahun 1966. Puluhan tahun kemudian, rumah-rumah beratap jerami tradisional desa tersebut direkonstruksi, dan desa tersebut pun dibuka sebagai museum dan desa kerajinan tradisional, dengan harga tiket masuk sebesar 350 Yen (Rp 45.000) saja.

Saat ini, ada sekitar 20 rumah tradisional di Iyashi No Sato Nenba. Masing-masing rumah telah diubah menjadi toko suvenir, restoran, galeri, serta tempat persewaan kimono. Para wisatawan juga bisa mencoba berbagai kerajinan tradisional di rumah-rumah ini, misalnya membuat origami, arang, dan mie soba.

Sewa Kimono di Iyashi No Sato Nenba. (Suara.com/Vania Rossa)
Sewa Kimono di Iyashi No Sato Nenba. (Suara.com/Vania Rossa)

Salah satu rumah yang paling ramai adalah tempat persewaan kimono. Di sini, wisatawan bisa menyewa kimono hanya dengan membayar 1.000 Yen (Rp 131.000) dan bisa dipakai sepuasnya sampai desa wisata tutup. Tempat persewaan kimono ini konon adalah yang termurah di Jepang, mengingat harga sewa kimono di tempat-tempat wisata lain berkisar antara 4.000 - 6.000 Yen (Rp 524.000 - Rp 786.000).

Selain kimono, ada juga baju armor samurai untuk para lelaki, serta baju ninja untuk anak-anak. Di sini disediakan pula geta, yaitu sandal khas Jepang yang mirip bakiak, sebagai pelengkap kimono. Ada juga pedang samurai yang bisa digunakan untuk properti foto. Setelah kostum lengkap dikenakan, Anda bisa berfoto dengan latar desa tradisional ataupun puncak Gunung Fuji yang bersalju.

Musim gugur, ikan ayu, dan teh botol...

Baca Juga: Menghayati Keelokan Gunung Fuji Melalui 5 Danau Cantik di Jepang

Pesona Musim Gugur

Konon, salah satu waktu terbaik untuk berkunjung ke Iyashi No Sato Nenba adalah saat musim gugur. Saat itu, wisatawan dapat menikmati indahnya perubahan warna daun musim gugur yang disebut momijigari, yang secara harfiah berarti 'berburu daun'.

Saking cantiknya perubahan warna daun yang terjadi saat musim gugur, banyak orang Jepang dan turis yang memang berniat mengumpulkan dedaunan yang telah berubah warna ini. Salah satu yang paling disukai oleh daun maple. Selain karena bentuknya yang unik dan mengingatkan pada bendera Kanada, perubahan warna daun maple juga termasuk yang paling menakjubkan, dimulai dari hijau menjadi kemerahan hingga akhirnya kuning.

Iyashi No Sato Nenba di Kaki Gunung Fuji. (Suara.com/Vania Rossa)
Iyashi No Sato Nenba di Kaki Gunung Fuji. (Suara.com/Vania Rossa)

Ketika warnanya sudah kuning, daun-daun ini akan gugur hingga akhirnya yang tersisa di pohon hanyalah ranting-ranting tanpa daun. Nanti, ketika salju turun, ranting-ranting itu akan kembali cantik berkat hiasan butiran salju yang menempel.

Suara.com bersama rombongan Smartfren International Roaming-Japan Experience, saat itu datang di awal bulan Desember 2019, di awal musim dingin. Meski begitu, kami beruntung karena masih sempat menikmati sisa-sisa pesona musim gugur yang sangat dinantikan oleh jutaan wisatawan.

Hamparan dedaunan berwarna kuning yang berguguran di tanah menjadi background foto yang cantik. Background seperti inilah yang banyak diburu dan dinikmati oleh para wisatawan di Iyashi No Sato Nenba, selain berfoto dengan latar Gunung Fuji yang gagah.

Ikan Ayu dan Teh Botol

Menurut Andi, tour guide yang menemani Suara.com selama perjalanan di Iyashi No Sato Nenba, meski dikenal sebagai pecinta ikan, orang Jepang sangat jarang makan ikan air tawar. Mereka lebih memilih ikan laut dan hewan laut lainnya untuk konsumsi sehari-hari. Nah, ikan Ayu, adalah satu dari sedikit ikan air tawar yang disukai masyarakat Jepang. Mungkin karena ikan Ayu ini hidup di sungai-sungai yang airnya bersih dan mengalir.

Penjual Ikan Ayu di Iyashi No Sato Nenba. (Suara.com/Vania Rossa)
Penjual Ikan Ayu di Iyashi No Sato Nenba. (Suara.com/Vania Rossa)

Di Iyashi No Sato Nenba, ikan Ayu jadi salah satu kuliner setempat yang cukup laris. Ikan seukuran ikan lele kecil ini ditusuk dengan bambu, dibumbui garam, dan dibakar perlahan sampai matang hingga ke bagian dalam. Rasanya mirip ikan asap dengan paduan gurih dan asin. Nikmat, apalagi jika disantap di tengah cuaca dingin. Ikan ayu dijual dengan harga 600 Yen atau Rp 78.600.

Selain ikan Ayu, ada juga apel Nagano yang sangat manis rasanya, buah pir yang sangat renyah dan manis, serta jus anggur yang diekstraksi dari 100 persen buah anggur ungu.

Teh Botol dan Mie Sedaap Cup di antara Kuliner Lokal di Iyashi No Sato Nenba. (Suara.com/Vania Rossa)
Teh Botol dan Mie Sedaap Cup di antara Kuliner Lokal di Iyashi No Sato Nenba. (Suara.com/Vania Rossa)

Di antara deretan kuliner lokal yang dijajakan di pedagang kaki lima, Suara.com menemukan Teh Botol Sosro dan Mie Sedaap cup ikut dijajakan di sana. Teh botol kemasan botol plastik ukuran 450 ml dijual dengan harga 650 Yen atau sekitar Rp 85.000.

Tak hanya itu, di depan meja lapak para pedagang di sana, juga bisa ditemukan beberapa tulisan berbahasa Indonesia yang menerangkan tentang kuliner yang mereka jual. Tidak ada alasan khusus kenapa ada makanan/minuman asal Indonesia, atau kertas berbahasa Indonesia di sana. Mungkin, salah satunya karena fakta banyak orang Indonesia, bahkan selebriti, yang sering datang dan jatuh cinta pada keheningan yang disajikan Iyashi No Sato Nenba.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI