Suara.com - Peringati Tsunami Aceh 2004, Ini Kisah yang Baru Diungkap Almuniza
Tepat 15 tahun silam, 26 Desember 2004, provinsi DI Aceh diterjang tsunami. Banyak cerita pilu dari bencana dasyat tersebut. Namun, ada satu kisah yang selama ini tak banyak terungkap.
Tentang hadirnya kakek bersorban berwajah khas Aceh. Kakek yang ditemui Almuniza Kamal, Kepala Badan Penghubung Pemerintah Aceh, yang kala itu masih berusia 21 tahun.
Ia menceritakan, seorang kakek berkeliling kampung menyerukan pemuda untuk taubat. Hingga lambat laun kakek itu hilang lalu tsunami datang.
Baca Juga: Air Mata dan Doa di Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh
"Sebelum 26 desember 2004, pada malam Minggu itu ada film tentang meletusnya Gunung Merapi. Malam itu saya dan adik perempuan saya dan ibu rebutan tidur di pangkuan ibu. Tapi saya mengalah sebagai abang. Kami pun terlelap hingga pagi tiba," ungkap Almuniza Kamal saat ditemui Suara.com dalam acara Run to Care yang diselenggarakan SOS Children, Kamis (26/12/2019).
Keesokan harinya, Almuniza bercerita tentang kebiasaan keluarganya setiap pagi, solat subuh bersama. Kemudian ia mengunjungi sahabatnya yang sakit.
"Pagi itu saya melakukan perjalanan lewat Kulung Raya. Di Cade 10km dari kota, saya singgah di toserba membeli 2kg jeruk sama coklat untuk berikan ke anaknya teman saya. Saat perjalanan pukul 08.00 terjadi gempa ketika saya melintas di Simpang Mesra," lanjutya.
Menurut pria yang akrab disapa Al ini, gempa di Aceh sangat biasa. Jadi ketika terjadi gempa ia hanya berhenti mengendarai motor dan menunggu hingga gempa usai.
"Saya jalan lagi 10km saat perjalanan sepi, di komplek kampung saya bertemu satu orang kakek bersorban putih naik bentor (becak motor), kakek itu menginformasikan ke kampung seraya berseru menggunkan bahasa Aceh," katanya.
"Hei aneu'-aneu' lun segera taubat. Hana trip le kiamat!"
Baca Juga: Gerhana Matahari Cincin Siang Ini Terlihat Sempurna di Simeulue Aceh
"Kakek itu mengucapkan kalimat itu berulang-ulang kali. Yang artikanya, hei anak semua bertobatlah kalian semua nanti akan ada kiamat," bebernya.
Mendengar ucapan kakek tersebut Al dan warga sekitar tidak terlalu menghiraukan. Bahkan mereka membiarkan kaker itu berteriak menyerukan peringatan hingga berlalu.
"Kita nggak percaya. Setelah itu saya menemui teman saya dan memberikan jeruk dan coklat. Setelah itu terdengar orang-orang berteriak 'air laut naik'. Saya awalnya tak percaya, tapi begitu melihat ke atas awan sangat gelap. Kemudian datang gelombang pertama. Semua menyelamatkan diri, berlari mencari perlindungan," ceotehnya.
Al ingat dirinya terhempas, dan sempat tersapu gelombang. Namun, beruntung Al tersangkut di ujung pohon kelapa. Ia melihat jelas kondisi di bawah. Semua orang berlari. Pakaian koyak, semua mencari pertolongan. Ia yakin di atas pohon kelapa dirinya akan selamat. Bahkan bila terjadi gelombang kedua dirinya masih selamat.
"Tapi ternyata kita nggak boleh sombong. Saat gelombang kedua datang, saya tenggelam. Saat itu saya berdoa, apabila saya diberi kesempatan hidup, saya ingin taubat. Lalu lewat springbed di depan saya, itulah pertolongan kedua yang saya terima. Di ujung kasur ada ular, kalajengking, dan lipan. Saya selamat bersama binatang-binatag hingga sampai di pesisir laut," ungkapnya.
Dari kejadian itu Al terus terbayang pesan kekek-kakek bersorban. Ia mengambil hikmah dari tsunami 2004, bahwa penting untuk selalu mengikat silaturahmi agar umur berkah dan sedekah akan memperpanjang usia kita. Ia sempat menjadi pengungsi seminggu. Dan Al kehilangan ibu dan adiknya.