"Baka Baka yang masalah, udah koma, udah tidur. Sebelumnya tiga tahun yang lalu, kita masih bisa ngerasain pariwisata. Ada 12 cottages, sekarang nyaris tidak terawat hanya 3 saja yang berfungsi, yang lain gak layak huni. Sudah tidak tercover lagi biayanya," keluhnya.
Jauh sebelum bencana tsunami yang terjadi pada 22 Desember 2018, Teja sudah merasakan loyonya industri pariwisata di Pantai Carita. Salah satu alasannya adalah karena tidak ada kepedulian pemerintah daerah terhadap dunia pariwisata.
Pemerintah daerah tidak menunjang daerah wisata dengan membangun infrastruktur yang dibutuhkan. Ada pula isu tentang sanitasi dan higienitas akibat kurang tertatanya pengolahan sampah dan limbah di Carita.
"Terus ada gak truk angkut sampah di Carita atau di Pasar Carita, mereka gak punya alat angkutnya. Hanya punya TPS, Tapi tidak diangkut, akhirnya jadi pencemaran, kumuh, menyengat. Kalau kumuh gak identik dengan pariwisata alam. Jadi masalah itu dari dulu gak ada perhatian," imbuhnya lagi.
Baca Juga: Pantai Carita di Pandeglang, Indah Mempesona Tapi Sepi Wisatawan
Mati surinya pariwisata di Carita membuat pelaku pariwisata yang merugi, bahkan para pedagang juga terpaksa kehilangan mata pencaharian jika sektor pariwisata di Carita mati suri.
"Sayang potensi ada, tapi gak ada gunanya. Sehingga berdampak pada pedagang kecil yang hidupnya bergantung pada pariwisata. Dari pedagang tiker, sewa ban, kelapa muda, pedagang emping. Sekarang mereka semua kehilangan mata pencaharian," tutupnya.
Kontributor : Saepulloh