Suara.com - Setelah menikah, bukan berarti biduk rumah tangga akan selalu aman tentram, serta damai dan sejahtera. Ada kalanya terjadi konflik, mulai dari masalah finansial hingga perbedaan prinsip.
Nah, seringkali, saat mengalami konflik rumah tangga, kita akan mencari satu mediator yang bisa menengahi dan menilai masalah lebih obyektif. Lalu, bolehkah curhat kepada mertua? Atau seperti apa sebaiknya?
Psikolog dari Yayasan Praktik Psikologi Indonesia, Dessy Ilsanty, membenarkan jika saat terjadi konflik dan terkendala komunikasi dalam rumah tangga, ada baiknya mencari mediator yang salah satunya adalah pihak keluarga, tapi harus tanpa keberpihakan.
"Plus minusnya memang keluarga akan ada keberpihakan, karena ada keterikatan emosi, itu yang menganggu. Kalau mau netral, pilih yang tidak ada keterikatan emosi di kedua belah pihak, agar menjadi tidak salah fokus," ujar Dessy di Alamanda Tower Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (18/12/2019).
Baca Juga: Dimasakin Mertua, Reino Barack Sempat Kira Jengkol Adalah Kentang
Nah, sosok keluarga ini harus mampu menilai masalah bukan pada sosok, tapi pada masalah dan titik temu atau cara apa yang bisa dilakukan. Akan sulit memang jika menantu berbicara pada mertua, sementara anaknya sudah ia rawat dan disayangi sejak lahir, lalu tiba-tiba disebut nakal oleh orang lain, tentunya ada sedikit rasa kesal.
Jika pun terpaksa bercerita pada mertua, ada baiknya meminta saran cara menghadapi si anak, misalnya persoalan pola komunikasi yang cocok. Usahakan ketika berbicara pada mertua, kita tidak men-jugde baik atau buruk anaknya.
"Misalnya ada kejadian begini-begini, fokus pada permasalah, bukan persoalan. Bisa jadi bukan orang jahat dan baik. Konfliknya berperilaku ada yang cocok bagaimana cara menangani, karena dia tahu bagaimana karena sudah menghadapi dari kecil. 'Cara ngomong begini-begini', nanti akan diajari," tutupnya.