Suara.com - Penghujung tahun 2019, tepatnya sejak pelantikan Presiden, isu radikal mulai kembali banyak dibicarakan oleh para tokoh politik, agama dan budaya di Indonesia --bahkan pemerintah menganggap serius hal tersebut. Nyatanya, Tan Malaka telah lebih dulu membedah isu radikal sekitar 90 tahun yang lalu.
Sosok Tan Malaka sendiri sering diasosiasikan dengan pemberontakan dan gerakan radikal. Padahal, Ibrahim Datuk Sutan Malaka --nama lengkapnya-- justru tidak menyetujui sepenuhnya pergerakan radikal yang dilakukan tanpa perhitungan.
Melalui buku yang berjudul "Aksi Massa" yang ditulis tahun 1926 misalnya, Tan Malaka menunjukkan pemikirannya bahwa upaya perebutan kekuasaan dengan radikal (putsch) bukanlah solusi terbaik. Tokoh nasional yang wafat pada 21 Februari 1949 ini lebih menawarkan aksi massa.
Sejarah panjang imperialisme Belanda yang membuat keadaan rakyat Indonesia menjadi miskin dan melarat adalah pendorong Tan Malaka menginginkan revolusi. Ia paham betul, bahwa kemerdekaan yang seluas-luasnya mustahil dicapai jika seluruh rakyat tidak bersama-sama merebut.
"Tidak melalui jalan Dewan Rakyat, tetapi melalui rapat nasional dengan perantaraan aksi massa yang teratur," tulis Tan Malaka. Ia bahkan menyebut bagi mereka yang masih percaya dengan cara parlemen untuk merdeka atas Belanda, sama saja dengan "seseorang di Gurun Sahara yang memburu fatamorgana".
Maka dari itu, Tan Malaka terlebih dahulu memperkenalkan pembaca dengan definisi revolusi lewat "kekerasan". Kekerasan yang dimaksudnya bukan melalui radikal (putsch) atau anarkisme.
Tan Malaka sendiri tidak setuju dengan radikal. Ia bahkan menyebut gerakan ini sebagai aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak banyak berhubungan dengan rakyat banyak.
Massa pun menurutnya, tidak akan memberikan pertolongan kepada 'tukang-tukang putsch', bukan karena tidak perhatian, melainkan massa hanya berjuang untuk kebutuhan yang terdekat sesuai dengan kepentingan ekonomi.
LIHAT juga Madilog buku menarik lainnya dari Tan Malaka di Serbada.com!