Suara.com - Bagi aktivis atau kaum pergerakan khususnya, nama dan pemikiran Albert Camus mungkin sudah kerap didengar bahkan juga dikutip dan dijadikan inspirasi. Berbagai pemikiran sosok penulis yang juga dikenal sebagai filsuf itu, antara lain bisa disimak dalam tiga buku berikut ini. Apa saja itu?
1. Pemberontak, sebuah usaha untuk memahami zaman
Pemberontak (The Rebel), merupakan salah satu buku karya Albert Camus, filsuf berpengaruh dari abad ke-20 kelahiran Aljazair. Selain dikenal sebagai sebagai filsuf, Camus juga memang merupakan penulis kenamaan, bahkan pernah diganjar Hadiah Nobel untuk Sastra pada tahun 1957.
Tulisan-tulisan dan filosofi Camus kerap dipenuhi dengan ide absurdisme yang kurang lebih bertemakan pencarian manusia akan makna dan kejelasan dalam dunia yang tidak menawarkan penjelasan. Nah, buku ini menawarkan pada kita suatu filsafat politik.
Baca Juga: Belajar Pemikiran Tan Malaka dari 3 Karya Terbaiknya
Pemberontak awalnya adalah sebuah buku yang hanya muncul di Prancis. Disajikan dalam pengertian sebagai kegairahan intelektual demi penelitian atas konsep-konsep seperti kebebasan dan teror, Pemberontak bukanlah suatu buku teoretis. Sebaliknya, ia adalah buku yang menguji, meneliti tentang situasi Eropa dewasa ini, di mana masalah itu dijelaskan lewat suatu pengetahuan historis yang tepat sejak masa dua abad yang lalu tentang perkembangan sosialnya.
Dengan kata lain, buku ini merupakan suatu usaha untuk memahami zamannya. Seperti kata Manes Sperber dalam The New York Times, esai Albert Camus ini boleh disebut sebagai ziarah intelektual terhadap surga di bumi, sebuah biografi tentang pemberontakan Eropa yang pecah bersama Revolusi Prancis; atau dalam arti yang lebih mendalam merupakan sebuah autobiografi.
>>LIHAT Pemberontak di Serbada.com!
2. Kumpulan esai dalam Perlawanan, Pemberontakan, dan Kematian
Perlawanan, Pemberontakan, Kematian membeberkan permasalahan intelegensi moral Camus dari perang kolonial di Aljazair, hingga permasalahan sosial yang akut akibat sistem kapitalistik yang menindas. Meskipun demikian, dua puluh tiga esai politik ini lebih merupakan hasil refleksi atas masalah kebebasan.
Baca Juga: Wanita Kutu Buku Lebih Menarik, Ini Alasannya
"Seorang penulis, saat ini tidak dapat melayani orang-orang yang membuat sejarah; ia harus melayani orang-orang yang menjadi sasaran sejarah itu," kata Albert Camus dalam sambutannya pada acara penerimaan Hadiah Nobel bidang Sastra tahun 1957, yang bisa dikaitkan dengan buku ini.