Biennale Jogja XV 2019 Ajak Pengunjung Melihat Sisi Lain Asia Tenggara

Kamis, 24 Oktober 2019 | 20:40 WIB
Biennale Jogja XV 2019 Ajak Pengunjung Melihat Sisi Lain Asia Tenggara
Biennale Jogja 2019, Taman Budaya Yogyakarta (Suara.com/Amertiya)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pameran seni Biennale Jogja 2019 resmi dimulai pada 20 Oktober 2019 lalu.

Tahun ini, Biennale Jogja yang mengusung tajuk 'Do we live in the same PLAYGROUND?' melibatkan sebanyak 52 seniman dari wilayah Asia Tenggara.

Menurut Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, kawasan Asia Tenggara dipilih setelah sebelumnya melibatkan seniman dari India, Nigeria, Arab, dan Brasil.

"Jadi kita milihnya karena Asia Tenggara... pertama kita berada dalam kawasan Asia Tenggara, terus apa sih yang belum pernah diambil dari Asia Tenggara?"

Baca Juga: Biennale Jogja 2019 Olah Sampah Plastik Jadi Karya Seni Bareng Siswa SLB

"Kalau kita bicara soal Manila, Bangkok, Jakarta, Kuala Lumpur kan udah sering. Jadi kita mau ngomong dari wilayah-wilayah pinggiran," tambahnya.

Berangkat dari sinilah, Biennale Jogja XV 2019 mengusung tema 'Do we live in the same PLAYGROUND?'. Di sini, para kurator dan seniman diminta untuk mempertunjukkan karya yang mewakili isu pinggiran di Asia Tenggara.

Beberapa karya tersebut seperti karya tentang perbatasan Thailand-Laos, Malaysia-Thailand, hingga wilayah pinggiran Indonesia itu sendiri.

"Jadi melihat sesuatu tentang Asia Tenggara yang belum banyak diangkat dalam dunia seni," jelas Alia Swastika.

Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta (Suara.com/Yasinta)
Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta (Suara.com/Yasinta)

Selain isu pinggiran, isu perempuan juga diangkat di Biennale Jogja XV 2019. Hampir separuh dari seniman di Biennale Jogja XV 2019 adalah seniman perempuan.

Baca Juga: Hentak Panggung Biennale Jogja 2019, Begini Serunya Aksi Voice of Baceprot

"Memang kita sejak awal tertarik untuk menonjolkan seniman-seniman perempuan," ucap Alia Swastika. "Sekarang generasi muda seniman kita banyak yang kuat yang perempuan."

Meski demikian, Alia Swastika juga menegaskan bahwa Biennale Jogja XV tidak mengangkat seniman perempuan karena mereka terpinggir.

"Bukan berarti kita menganggap posisi perempuan terpinggir. Memang kita mengakui masih ada represi terhadap perempuan, tapi tidak berarti dalam pameran ini kita hendak menunjukkan bahwa semua perempuan terpinggir," jelasnya.

Instalasi Seni Biennale Jogja 2019, Taman Budaya Yogyakarta (Suara.com/Amertiya)
Instalasi Seni Biennale Jogja 2019, Taman Budaya Yogyakarta (Suara.com/Amertiya)

Salah satu contoh karya Biennale yang mengangkat baik isu perempuan dan pinggiran adalah milik Muslimah Collective.

Di sini, seniman-seniman perempuan dari Thailand menunjukkan bagaimana kehidupan muslimah di Pattani yang secara budaya adalah orang Melayu namun memiliki kewarganegaraan Thailand.

"Di sana ada banyak kasus-kasus kekerasan, seperti pemaksaan agar mereka menjadi bagian dari budaya Thailand. Nah, kita ingin memasukkan situasi yang tidak banyak diketahui publik Indonesia," kata Alia Swastika saat menjelaskan salah satu contoh karya yang ada.

Contoh lainnya adalah isu para pengungsi perang Vietnam yang kehilangan identitas. Di sini, sang seniman merepresentasikannya dalam karya berbentuk tumpukan kartu identitas.

"Ketika menjadi pengungsi itu kan orang tidak punya identitas, banyak di antara mereka menjadi warga ilegal. Seniman ini lalu melakukan wawancara ke para pengungsi, lalu membuatkan kartu identitas."

"Jadi untuk menunjukkan bahwa hal terpenting yang hilang dari kehidupan seseorang ketika menjadi pengungsi adalah identitas," lanjut Alia Swastika.

Instalasi Seni Biennale Jogja 2019, Taman Budaya Yogyakarta (Suara.com/Amertiya)
Instalasi Seni Biennale Jogja 2019, Taman Budaya Yogyakarta (Suara.com/Amertiya)

Isu pinggiran dalam Biennale Jogja XV sendiri tak selalu merujuk pada wilayah geografis. Sebaliknya, pinggiran dapat diartikan sebagai hal-hal yang mungkin dianggap tidak penting atau hal-hal yang direpresi.

"Pameran ini lebih membuka soal konflik yang tersembunyi," tambahnya. "Di kita saja masih banyak, kita merepresi orang LGBT, kita merepresi kelompok miskin, digusur, rumahnya dijadikan bandara. Di beberapa video di Jogja National Museum, ada yang mengetengahkan masalah orang-orang kehilangan tanahnya karena dijadikan PLTN. Itu juga bagian dari represi."

"Saya mau bilang jika konflik ada di setiap tempat, tapi konteksnya beda. Yang sama adalah represi terhadap kelompok-kelompok terpinggir, walau konteksnya setiap negara beda," pungkas Alia Swastika.

Ya, Biennale Jogja XV 2019 memang bertujuan untuk melakukan pendidikan isu serta mendistribusikan pengetahuan tentang isu-isu di Asia Tenggara.

Setelah Asia Tenggara, Biennale pun berencana untuk bekerja sama dengan seniman-seniman di wilayah Pasifik di perhelatan berikutnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI