Partner Satu Misi
Sabda tak sendirian mendirikan Zenius. Di sampingnya ada Wisnu Subekti, yang tak lain adalah sang adik, yang saat ini menjabat sebagai President Zenius Education.
"Perbedaan umurku dengan Sabda itu 5 tahun. Dia adalah salah satu orang pertama yang menginspirasi saya. Dulu waktu Sabda SMA, saya masih SD, setiap pulang sekolah Sabda selalu cerita apapun tentang sekolahnya. Dan saya selalu senang mendengar cerita-ceritanya. Jadi concern-concernya dia banyak yang nyangkut ke saya," kata Wisnu ketika ditanya kenapa ia memiliki pemahaman yang sama dengan sang kakak soal pendidikan di Indonesia.
Setelah kuliah, Wisnu pun ikut merasakan keresahan yang sama soal pendidikan di Indonesia, seperti halnya yang dirasakan Sabda. Hanya saja, Wisnu lebih menyoroti betapa banyak orang Indonesia yang menjadikan sains sebagai sebuah momok yang menakutkan. "Padahal aslinya, sains itu sangat penting untuk dasar seseorang bisa berpikir logis," katanya.
Baca Juga: DPR Terus Dorong Revitalisasi Pendidikan Vokasi
Sebagian besar misi yang dikemukakan Sabda untuk Zenius sejalan dengan apa yang ada di kepala Wisnu. Hanya saja, Wisnu lebih ingin menekankan agar anak-anak Indonesia sejak kecil sudah merasakan serunya belajar. tujuannya supaya ke depannya mereka jadi anak yang pembelajar. Menurut Wisnu, target seorang pengajar adalah bukan membuat muridnya mengerti saat dia diajarkan, tetapi dia harus bisa membakar semangat muridnya agar seterusnya mau belajar. "Ketika muridnya tidak tumbuh menjadi manusia yang suka belajar, menurut saya, pengajar itu gagal," katanya.
Bukan tanpa alasan pula jika tutor-tutor di Zenius saat ini lebih banyak direkrut dan ditraining di bawah pengawasan langsung Wisnu. "Untuk bisa bikin orang suka belajar, kita harus lihat dulu apakah si calon tutor ini juga suka belajar, dan itu bisa terlihat dari motivasi mereka. Kita selama ini suka membagi-bagi guru matematika, guru sains, guru bahasa, dan sebagainya. Padahal, anak kan tidak belajar satu-satu itu. Kita belajar semua. Guru yang suka belajar, bukan hanya paham satu bidang, tapi juga tertarik pada materi yang lain. Itu yang saya lihat dari calon tutor-tutor di Zenius," kata Wisnu.
Intinya, untuk bisa membuat anak-anak tertarik belajar, seorang pengajar haruslah memiliki ketertarikan pada ilmu pengetahuan. Karena menurut Wisnu, bagaimana mungkin menciptakan anak yang tertarik dengan ilmu pengetahuan kalau kita sendiri yang mengajarkan tak suka pada ilmu pengetahuan.
"Pengajar yang punya ketertarikan pada ilmu pengetahuan, besar kemungkinan mampu mengajarkan dengan enak ke murid-muridnya, meski tidak semua begitu," kata Wisnu.
Pendidikan Digital vs Pendidikan Konvensional
Baca Juga: Psikolog Sebut Animasi Bisa Jadi Media Pendidikan Anak, Bagaimana Caranya?
Dulu, ketika ia berbincang dengan Pak Fuad Hasan, mantan menteri tersebut memprediksi misi Sabda baru akan terealisasi dalam jangka waktu 30 tahun. "Tapi, melihat di usia Zenius yang saat ini 15 tahun, sepertinya mencapai tahap masyarakat Indonesia cerdas seutuhnya bisa lebih cepat dari prediksi Pak Fuad Hasan," kata Sabda.
Indikatornya, menurut Sabda, dari data jumlah akses terhadap pendidikan digital, ketertarikan masyarakat terhadap pembelajaran online yang meningkat. Ternyata, orang tidak takut dengan efisiensi, tapi masalahnya, banyak orang justru takut dari segi efektivitas. Mereka bertanya, apakah benar bisa belajar dari mobile?
Bicara mengenai pendidikan digital, ada banyak kelebihan yang ditawarkan. "Kalau ada satu guru bagus banget, cara mengajarnya oke banget, berapa banyak murid, sih, yang bisa dia ajarkan di kelas biasa? Tapi coba kalau di-switch ke pendidikan digital, cara mengajarnya divideokan, bisa diakses oleh siapa saja, bayangkan berapa banyak murid yang bisa ia jangkau," kata Sabda.
Itulah kelebihan pendidikan digital, materi tentang apapun selalu bisa diakses dari manapun dan kapanpun.
Tapi, tidak berarti Sabda mengecilkan arti pendidikan konvensional. "Begini, pendidikan itu kompleks dan luas. Saya membagi pendidikan itu menjadi kognitif dan afektif. Pendidikan digital mungkin bisa mengasah sisi kognitif, kemampuan otak seseorang. Tapi, pendidikan digital tidak bisa meraih sisi afektif yang mengajarkan soal kasih sayang atau empati. Jadi ini tetap perlu didapat dengan ketemu teman, curhat langsung ke guru, hal-hal yang dilakukan dengan pendidikan konvensional," jelasnya
Menurut Sabda, selama ini guru mungkin sibuk mengejar kurikulum, sehingga waktu untuk mengajar pendidikan afektif ke murid-muridnya jadi berkurang. Itu sebabnya, ia berpendapat bahwa kegiatan pengajaran yang berulang-ualng setiap tahun sesungguhnya bisa didigitalisasi. "Sisa waktunya, bisa digunakan untuk mendengarkan curhatan anak, memedulikan anak, itu yang susah dilakukan secara digital," katanya soal perbandingan pendidikan digital dan pendidikan konvensional.
Ini sama seperti pekerjaan. Meski saat ini banyak orang menganggap bekerja bisa dilakukan di mana saja, orang tak perlu lagi kantor fisik, tapi faktanya sekarang kita masih perlu bertemu dengan rekan kerja ataupun klien secara langsung. Intinya, meski digitalisasi bisa membuat efisiensi, selalu ada sentuhan manusia yang memang tak tergantikan.