Suara.com - Latar belakang sebagai programer malah membawanya sebagai praktisi pendidikan yang punya mimpi mulia untuk anak-anak Indonesia. Katanya, ia terusik dengan fakta yang didapatnya puluhan tahun lalu, ketika ia dan teman-teman lulusan ITB mau ambil S2 bareng ke sebuah universitas di Amerika.
"Saya kaget, kok anak-anak ITB yang saya pikir pinter-pinter, score-nya rendah dibanding anak-anak dari negara lain? Saya jadi penasaran, apa perbedaan signifikan antara pendidikan di Indonesia dengan di luar negeri? Karena tes masuknya waktu itu sebenarnya bukan tes pengetahuan, melainkan tes pemikiran dasarm yaitu tes kuantitif analisis atau berpikir matematis, tes verbal atau berbahasa secara akurat, dan logika berpikir. Basic sebenarnya," kata Sabda ketika ditemui di kantor Zenius, perusahaan pendidikan digital yang telah dirintisnya sejak 2004 lalu.
Dari hasil cari tahunya, ternyata pendidikan di Indonesia selama ini lebih menekankan pada 'tahu', kita harus tahu ilmu pengetahuan ini. Berbeda dengan pendidikan di luar negeri yang lebih mengembangkan pola pikir. Padahal menurut founder, CEO, dan guru di PT Zenius Education ini, pengetahuan akan usang, tergantikan, dan akan terus di-update. Berbeda dengan pola pikir yang cenderung universal dan long lasting. "Sayangnya, di kita tidak membangun itu," kata Sabda menyayangkan pendidikan di Indonesia.
Hasil telusurannya menemukan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia itu awal mulanya bersifat vokasi, yaitu pendidikan tinggi yang menunjang pada penguasaan keahlian terapan tertentu. "Jadi pada saat zaman kolonial, karena kebutuhan akan tenaga kerja lokal, yang penting bisa kerja aja. Itulah universitas yang kita punya hingga saat ini. Berbeda banget dengan perguruan tinggi di Belanda sendiri, yaitu universiteit, memang tugasnya menumbuhkan pelajar sebagai pembelajar yang punya pola pikir dan pandangan luar biasa. Masalah skill-nya nggak perlu spesifik," kata Sabda.
Baca Juga: DPR Terus Dorong Revitalisasi Pendidikan Vokasi
"Jadi, salah kaprah kita di sini 4 tahun kuliah menciptakan seorang insinyur yang siap kerja. Harusnya, sekolah 4 tahun itu mampu menciptakan manusia dengan pola pikir yang lebih lengkap. Di kita malah sekolah itu belajar satu skill yang bikin kita langsung bisa berguna dan bekerja. Padahal skill itu bisa didapat kapan saja. Kalau konsep pendidikan di kita begitu, kita mungkin bisa bekerja dalam 5 tahun ke depan. Tapi setelah itu, skill tersebut akan usang. Padahal seharusnya, pendidikan bisa membentuk manusia secara utuh yang selama 30 tahun ke depan bisa hidup secara berkualitas dalam hal pribadi, bermasyarakat, dan pekerjaan," paparnya mengemukakan pandangannya soal konsep pendidikan.
Keinginannya berkontribusi di bidang pendidikan semakin mengkristal saat ia berkesempatan berbincang dengan Pak Fuad Hasan, menteri pendidikan pada masa itu. "Saya membagi semua konsep pendidikan ideal yang ada di kepala saya. 'Harus diapain, ya?' Kata Pak Fuad Hasan saat itu, 'Jangan jadi menteri! Kamu cuma bisa bertahan 5 tahun, tapi setelah itu habis diobrak-abrik. Kamu anak ITB, masa gak bisa mikir, pake teknologi kek.' Dari situ saya mulai kepikiran menggabungkan konsep pendidikan dan teknologi. Pendidikan digital, prinsipnya harus membangun pola pikir yang signifikan, juga sifatnya membangun fundamental. Dengan IT, kita bisa membuat ini bisa diakses oleh puluhan juta anak Indonesia," kisahnya.
Berawal dari Bimbel Offline
Tahun 2004, misinya terealisasi dengan pinjaman uang sana-sini. Berbekal 'meminjam' satu lokasi bimbel milik mentornya, Sabda, pun mendirikan bimbel sendiri. "Dulu modal Rp 150 juta, hasil pinjam campur-campur pakai kartu kredit sama Pak Medi mentor saya," kenangnya.
Bimbel offline ini menjadi pemasukan keuangan bagi rencana-rencana besarnya di masa mendatang. Bimbel berjalan lancar, ada biaya untuk operasional, bisa rekrut guru dan programer. "Tahun 2008 kita launching materi pembelajaran dalam bentuk CD. Di tahun pertama lumayan laku, melebihi ekspektasi. Saat itu Rp 1,3 miliar hasil penjualannya. Kita jual untuk anak SMA untuk persiapan masuk SPMBm ada paket IPA, IPC," cerita Sabda.
Baca Juga: Psikolog Sebut Animasi Bisa Jadi Media Pendidikan Anak, Bagaimana Caranya?
Dari situ, ia dan Zenius terus berinovasi dari revenue yang didapat. Tantangannya macam-macam, salah satunya pembajakan CD. Tapi, Sanda dan Zeniusnya terus bertumbuh. "Dan baru di tahun ini kita dapat investor, karena ternyata Zenius dinilai profitable, bisalah kita ekspansi," katanya yakin.
Ditanya tentang banyaknya kompetitor yang ada, Sabda justru menjelaskan bahwa Zenius punya misi di bidang pendidikan yang akan menggandeng siapa pun yang punya misi sama. "Jadi, kalau ada organisasi lain yang punya visi sama seperti kita, yaitu mencerdaskan masyarakat Indonesia secara total, kita akan gandeng. Tapi kalau ada lembaga pendidikan lain yang punya visi membuat belajar jadi mudah, misal menawarkan rumus cepat, Zenius tidak mau seperti itu. Bagi kami, belajar itu harus total. Jadi, lembaga pendidikan yang seperti itu akan kita anggap sebagai kompetitor," kata Sabda menjelaskan soal definisi kompetitor bagi perusahaannya.
Zenius Education, pendidikan digital
Hingga saat ini, Zenius sudah punya sekitar 80 ribuan video yang bisa diakses oleh para pelajar lewat aplikasi mobile maupun web.
Kalau ditanya soal bentuk usahanya, Sabda menyebut bahwa bimbel itu hanyalah salah satu bentuk dari pendidikan digital yang dirintisnya dalam upaya menjalankan misinya mencerdaskan Indonesia. "Tapi, saya yakin bahwa kita pasti akan berubah, berinovasi. Tapi, misi kita tetap itu. Seperti saat ini kita punya inisiatif-inisiatif yang targetnya adalah semua bisa merasakan pendidikan. Salah satunya Zenbox, bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia," kata Sabda soal inovasi pendidikan digital yang terus dirintisnya.
Zenius Education sendiri juga sudah punya yayasan yang menggandeng banyak perusahaan-perusahaan yang mau terlibat dalam mengatasi akses pendidikan digital. "Ini bukan bisnis, tapi kita ingin menawarkan kepada perusahaan-perusahaan yang ingin berkontribusi, kita bisa tangani aksesnya. Misi mencerdaskan Indonesia tetap nomor satu. Seperti yang baru saja kita jalani dengan Kementerian dan pemerintahan lokal di NTT, Sambas, dan beberapa daerah lagi. Selama ini Zenius mobile diakses harus pakai internet. Kalau nggak ada internet, bagaimana? Kita taruh materi-materi kita di server offline, bisa ditaruh di kelas yang isinya 30-40 anak. Mereka bisa connect tanpa internet, mengerjakan soal-soal dan video," katanya lagi.
Bicara soal pendidikan digital yang cenderung menyamaratakan metode belajar bagi setiap anak, padahal mereka memiliki gaya belajar masing-masing, Sabda berkata bahwa salah satu keunggulan Zenius ada pada metodologinya. "Sejam dua jam mereka biasanya akan mengakui enak ya belajar pake metode Zenius ini. Nah, dari sini, kita variasikan formasi belajarnya, misalnya gurunya, yang bawain siapa. Tapi, esensi dan metodologinya tidak berbeda. Dari hasil observasi yang kita lakukan, cara ini cukup berhasil, ketika metodologi belajar kita berikan sedikit variasi," paparnya soal efektivitas belajar anak.