Suara.com - Pameran seni Biennale Jogja 2019 akan segera dibuka besok, Minggu (20/10/2019). Tahun ini menandai edisi kelima dari Biennale Jogja Equator.
Biennale Jogja Equator adalah proyek seni yang berfokus pada wilayah khatulistiwa. Total, ada 52 seniman dan kelompok dari berbagai kota dan wilayah di Asia Tenggara yang berpartisipasi.
Di tahun 2019 ini, Biennale Jogja XV mengusung tema 'Do we live in the same PLAYGROUND?'. Tema itu sendiri dipilih oleh tiga orang kurator Biennale Jogja 2019, Akiq AW dan Arham Rahman dari Indonesia serta Penwadee Nophaket Manont dari Thailand.
Dalam konferensi pers Biennale Jogja 2019 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), dijelaskan bahwa konsep ini berfokus pada persoalan "pinggiran".
Baca Juga: Voice of Baceprot, Hijaber Metal Siap Buka Biennale Jogja 2019
Secara ringkas, kata "pinggiran" dapat diartikan sebagai isu-isu, budaya, dan subjek yang kerap diabaikan. Persoalan identitas (gender, ras, agama), konflik sosial-politik, perburuhan, lingkungan, hingga praktik kesenian juga termasuk di dalamnya.
Dari sekian banyak karya dan instalasi seni yang dipamerkan dalam Biennale Jogja XV 2019, ada satu yang menarik dan tak boleh dilewatkan.
Instalasi ini akan dinamai "Hotel Purgatorio" dan bertempat di Kampung Jogoyudan. Hotel Purgatorio sendiri adalah hasil karya Yoshi Fajar Kresno Murti, seorang arsitek, praktisi arsip, aktivis, dan tukang kebun.
Berbeda dengan hotel lainnya, Hotel Purgatorio akan dibangun di kondisi situs yang "ekstrem". Menurut Yoshi Fajar, hotel ini bisa berfungsi sebagai instalasi, event, ruang, dan juga destinasi.
Tak berhenti sampai di sana, Hotel Purgatorio juga dibangun dengan bahan-bahan sisa dan konstruksi tangga bambu. Warga sekitar pun turut berpartisipasi dalam pembangunannya.
Baca Juga: Biennale Jogja XV 2019: Do We Live in the Same Playground?
Hal ini menggambarkan bagaimana setiap orang bisa membangun hotel (ruang) mereka sendiri, tanpa perlu memikirkan mana pemusatan dan peminggiran.