Kisah Perajin Gamelan di Sleman, Lulus Kuliah untuk Bantu Bisnis Keluarga

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Sabtu, 19 Oktober 2019 | 17:43 WIB
Kisah Perajin Gamelan di Sleman, Lulus Kuliah untuk Bantu Bisnis Keluarga
Seorang pekerja sedang membuat gong, di rumah produksi gamelan Bondho Gongso, Gamping, Sleman, Yogyakarta. (Suara.com/Uli Febriarni)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kisah Perajin Gamelan di Sleman, Lulus Kuliah untuk Bantu Bisnis Keluarga

Tak semua orang mau meneruskan bisnis keluarga, meskipun sudah berjalan puluhan tahun. Namun seorang pemuda asal Sleman, Yogyakarta, justru sengaja kuliah untuk bisa mengembangkan bisnis keluarga sebagai perajin gamelan.

Ya, kerajinan gamelan Bondho Gongso di Gamping, Sleman, Yogyakarta saat ini dikelola kakak-beradik generasi ketiga, Tri Suko dan Stevanus Permadi. Saat ditemui Suara.com, Stevanus Permadi terlihat cekatan saat melepas paku-paku lama yang terpasang di sebuah alat musik yang akan ia perbaiki.

"Saya lulusan Akademi Teknik Yogyakarta (kini bernama Politeknik ATK Yogyakarta), Bantul. Jurusan desain sepatu. Lulus kuliah langsung di sini (kerja di Bondho Gongso)," kata dia, dijumpai pada Jumat (18/10/2019).

Baca Juga: Penanda Pre-Even YGF, Empat Penjuru Mata Angin Jogja Tabuh Gamelan Serentak

Menjadi seorang sarjana tak menutup kesempatan baginya, untuk ikut membantu kakak menjalankan usaha gamelan itu. Bagi Permadi, sapaannya, mempertahankan eksistensi bisnis yang dirintis keluarganya adalah upaya melestarikan kebudayaan.

Beberapa kali ia diterima kerja di banyak perusahaan, dalam dan luar kota, bahkan luar provinsi. Namun, satu per satu tawaran pekerjaan itu ditolaknya.

Padahal orang tua susah memberikan kebebasan baginya untuk memilih pekerjaan atau aktivitas apapun selesai kuliah. Hanya berpesan kepada anak-anaknya kalau bisa, bisnis keluarga jangan sampai mati.

Ia tak memungkiri, sebagai manusia tentu pernah diliputi rasa bosan. Namun bagaikan nahkoda kapal yang tak ada alasan lain untuk berlabuh di lain dermaga, Permadi tetap kukuh pada pilihannya.

"Mau gimana lagi, kalau ditinggalkan eman (sayang) sejarah dan budaya. (Alasan) itu yang membuat saya bertahan," ucapnya, sembari mengumpulkan paku-paku kecil dan paku payung di lantai.

Baca Juga: Sutradara Livi Zheng Pakai Gamelan Bali untuk Filmnya

Ia menyatakan, ilmu yang didapat di bangku kuliah nyatanya terpakai di bisnis keluarga itu. Utamanya memilih kulit berkualitas untuk bahan kendang.

Penabuh gamelan dan pesinden menandakan dimulainya Pre-even TGF di Kota Yogyakarta. [Suara.com/Putu Ayu P]
Penabuh gamelan dan pesinden menandakan dimulainya Pre-even TGF di Kota Yogyakarta. [Suara.com/Putu Ayu P]

Sedikitnya ada tiga jenis kulit hewan yang bisa dipilih menjadi bahan kendang. Mulai dari kulit sapi, kerbau, kambing. Ketiganya punya fungsi dan keunggulan berbeda.

Kendang berbahan kulit kerbau dapat mengeluarkan nada tinggi saat ditabuh. Sedangkan kulit sapi, jangkauan suaranya tak setinggi suara yang dihasilkan dari menabuh kulit kerbau. Kulit kambing biasanya untuk jimbe (kendang kecil) dan rebana.

"Berbeda dengan kulit sepatu, yang kalau kuliah ada teorinya tebalnya harus sekian milimeter. Kalau kulit kendang tidak ada teorinya, pake feeling. Terlalu tebal kendang tidak bunyi, terlalu tipis gampang sobek," sebutnya.

Usaha kerajinan gamelan saat ini sedang naik daun. Anak-anak muda banyak yang mulai tertarik dengan gamelan. Berbeda dengan masa lampau, tak banyak anak muda kenal dekat dengan gamelan.

Berselang sebentar, ada dua orang lelaki berseragam batik khas Sekolah Menengah Kesenian Indonesia Yogyakarta (Sekolah Menengah Kejuruan 1 Kasihan) dan celana abu-abu, datang ke rumah produksi. Menyapa Permadi sebentar dan dibiarkan memilih beberapa alat musik di belakang. Setelah kedua anak itu berlalu, percakapan berlanjut.

Ilustrasi gamelan. (shutterstock)
Ilustrasi gamelan. (shutterstock)

"Usaha ini kalau ditekuni enak, santai," ucapnya, seraya menawarkan sebotol teh dingin.

Pesanan gamelan buatan mereka sampai ke Prancis, Suriname, Kanada, Kalimantan, Irian Jaya.

"Kami mandiri menjalankan usaha ini, walau sempat ada bantuan alat dan pelatihan dari pemerintah daerah DIY," kata dia.

Ia berharap, ke depan, kaum muda lebih ingin menekuni karya leluhur mereka. Takut kalau diambil dan diakui negara lain.

"Sekarang itu orang Belanda, Amerika sudah mahir main gamelan. Masa orang lain bisa kita tidak bisa. Kita isane gawe (bisanya membuat) tapi tidak bisa," kelakar Permadi.

Kontributor : Uli Febriarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI