Suara.com - Ribuan orang mengikuti tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng dalam rangka menyambut 1 Suro 1953. Ritual ini dimulai pada malam 1 Suro pukul 21.00 WIB dan akan berakhir hingga tengah malam. Tradisi ini memang selalu dilakukan sebagian masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terutama abdi dalem Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, dalam rangka menyambut 1 Muharram.
Sejak sore, masyarakat mulai berdatangan ke Kagungan Ndalem Ponconiti Kompleks Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, tempat tradisi berjalan mengelilingi benteng Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dimulai. Di tempat ini pula, rangkaian acara ritual Lampah Budaya Mubeng Beteng digelar.
Prosesi Lampah Budaya Mubeng Beteng dimulai dengan menyanyikan tetembangan (lagu) Jawa melalui kidung yang dilaksanakan oleh puluhan Abdi Dalem. Dilanjutkan dengan doa oleh Mas Lurah Abdul Syaiful serta membagikan makanan yang telah tersedia.
Ribuan masyarakat lantas mulai berjalan mengelilingi Benteng Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Mereka berjalan berlawanan arah jarum jam, yaitu berjalan ke arah barat lantas ke selatan, ke timur, baru ke utara, dan kembali ke tempat dimulainya prosesi ini.
Baca Juga: Cita Rasa Melegenda, Mendedah Kelezatan Mie Ayam Tumini Yogyakarta
Selepas dari Ndalem Ponconiti, rombongan lantas berjalan melalui jalan Rotowijayan, jalan Agus Salim, jalan KH Wahid Hasyim, pojok Beteng Kulon, Plengkung Gading, pojok Beteng Wetan, jalan Brigjen Katamso, jalan Ibu Ruswo, Alun-alun Utara, dan baru kembali ke Ndalem Ponconiti.
Pengangeng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat atau yang dikenal sebagai Kantor Penghubung Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat, menuturkan bahwa tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram di Kotagede ratusan tahun silam. Kala itu, tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng ini dilakukan oleh Prajurit Keraton.
Prajurit Keraton memang memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan wilayah Keraton. Oleh karena itu, secara rutin rombongan Prajurit Keraton melaksanakan patroli dengan berjalan kaki mengelilingi Benteng Keraton untuk melihat situasi. Dan seiring berjalannya waktu, tradisi tersebut kini digantikan oleh Abdi Dalem.
"Kini tradisi tersebut sudah berubah esensinya menjadi sebuah upaya koreksi diri," tutur KRT Jatiningrat, Sabtu (31/8/2019).
Dalam tradisi berjalan mengelilingi Benteng Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat ini ada satu pantangan yang harus ditaati oleh peserta. Pantangan tersebut adalah tidak boleh bersuara apalagi berbicara dengan sesama peserta lainnya. Pantangan berbicara inilah yang sering dikatakan sebagai Topo Bisu alias tidak berbicara.
Baca Juga: Bangga, Yogyakarta Masuk Daftar Kota Terindah di Asia Berkat Kotagede
Topo Bisu ini menjadi ajang para peserta Lampah Budaya Mubeng Beteng untuk melakukan instropeksi diri perbuatan apa yang selama ini telah mereka lakukan selama setahun terakhir. Dan berjanji untuk memperbaiki di tahun-tahun mendatang untuk menjadi pribadi yang lebih baik di kemudian hari.