Suara.com - Umat muslim diharamkan mengonsumsi daging babi. Tidak ada tawar-menawar tentang hal itu, sebagaimana telah disebutkan di dalam kitab suci. Tapi, bagaimana jika ada daging babi yang halal? Eits, jangan berprasangka buruk dulu. Yang dimaksud halal di sini, daging babi tersebut bukanlah daging babi asli, melainkan daging babi yang dibuat dari protein nabati, seperti halnya daging tiruan yang kerap dikonsumsi oleh para vegetarian.
Omnipork, imitasi namun bagai asli
Omnipork, daging babi nabati, telah diperkenalkan di China beberapa waktu lalu. Produk daging babi tiruan yang terbuat dari kedelai, kacang polong, jamur shiitake, dan protein beras ini diciptakan oleh tim peneliti di Amerika Utara dan diproduksi oleh sebuah pabrik di Thailand. Soal rasa, Omnipork juga mencoba meniru rasa, tekstur, dan warna daging babi asli.
Dilansir dari www.chinadailyhk.com, masyarakat Asia, sejak dulu memang dikenal sebagai penggemar daging, khususnya daging babi. Namun kini, kegemaran untuk tidak makan daging tampaknya telah meningkat di sini.
Sebelum Omnipork hadir, perusahaan pengganti daging yang berbasis di AS, Beyond Meat dan Impossible Foods, telah hadir lebih dulu dengan kesuksesan yang ditandai dengan angka penjualan yang fantastis. Ditambah dengan putaran pendanaan yang kuat, seakan menjadi pesan bahwa makanan alternatif berbasis tanaman atau nabati saat ini tengah menjadi tren nasional, atau bahkan tren dunia.
Baca Juga: Asik! Diet Vegetarian Mampu Mencegah Kita Terkena Penyakit Mematikan Ini
Daging nabati, bisnis yang menjanjikan
Impossible Foods, sebuah startup di Silicon Valley, juga tak mau ketinggalan. Perusahaan yang menawarkan produk burger dan sosis bebas daging sapi, dan berikutnya akan memproduksi produk daging babi dan daging ayam vegan, kini memperluas jejaknya ke Singapura pada Maret 2019 setelah memasuki Hong Kong dan Makau tahun lalu. Demikian kata Nick Halla, wakil presiden senior internasional di Impossible Foods.
Perusahaan tersebut baru saja mendapat pendanaan Seri E sebesar 300 juta dolar AS atau setara Rp 4,2 triliun, sehingga total pendanaan perusahaan menjadi 750 juta dolar AS atau Rp 10,6 triliun. Jumlah ini memberi gambaran sekilas tentang bagaimana produk daging alternatif saat ini telah mengambil alih industri makanan yang sesungguhnya.
Sejak diluncurkan di Singapura, penjualan Impossible Foods telah meningkat di Asia lebih dari empat kali lipat hanya dalam beberapa bulan, menunjukkan betapa besar keinginan benua itu pada produk daging nabati. "Produk perusahaan Impossible Meat saat ini tersedia di lebih dari 180 restoran di Hong Kong, Makao, dan lebih dari 80 di Singapura," demikian dikatakan Halla.
Berterima kasih pada teknologi
Pengganti daging nabati bertujuan untuk menyenangkan pecinta daging dan vegetarian dengan menciptakan kembali pengalaman makan daging asli tanpa harus mengorbankan keyakinan menjadi vegan.
Dan yang inovatif, produk daging nabati ini tak hadir hanya dalam bentuk asli daging yang bisa diolah dalam banyak cara, seperti dikukus atau digoreng, tetapi juga bisa dicampurkan ke dalam bakso atau siomay, demikian dikatakan David Yeung, yang memperkenalkan produk Omnipork.
Baca Juga: Agar Tak Kekurangan Gizi, Begini Cara Mengatur Menu untuk Anak Vegetarian
Demikian juga dengan Impossible Foods, menyebutkan bahwa produknya dapat diolah sebagai topping pizza, isian burger, campuran di pho Vietnam dan Bolognese Italia, tanpa mengubah rasa.
Penggunaan teknologi tinggi memang diperlukan untuk membuat produk daging nabati ini. Menurut Halla, ada 'bahan ajaib' berupa molekul yang mengandung zat besi yang disebut heme, yang ditemukan pada hewan dan tumbuhan, yang memberi rasa daging.
Teknologi telah berhasil memberi rasa 'daging' pada produk nabati, mulai dari rasa, warna, dan teksturnya. Bahkan, bisa membuatnya menjadi tampak lebih segar dari daging aslinya.
Menjawab keinginan pasar
Sejak debut Omnipork di Hong Kong tahun lalu, Omnipork telah dimasukkan ke dalam menu ratusan restoran di seluruh kota. Sekarang dijual di Hong Kong, Makao, Taiwan, Singapura dan Thailand. Perusahaan Right Treat yang mengembangkan Omnipork, berencana untuk membuat terobosan ke daratan Cina pada akhir kuartal ketiga tahun ini.
Sebagai produsen dan konsumen daging babi terbesar di dunia, China adalah pasar yang pantang dilewatkan oleh para pembuat protein nabati seperti Right Treat. Menurut Yeung, besarnya populasi vegan dan generasi muda yang peduli tentang makanan sehat, menjadikannya kekuatan pendorong utama bagi perubahan pola makan nasional.
"Perubahan mendasar datang dari dua sumber - apa yang orang inginkan dan apa yang orang takutkan," katanya.
Yeung percaya keinginan untuk perubahan pola makan sudah ada. Dan ketakutan berakar pada meningkatnya kekhawatiran atas keamanan makanan dan demam babi Afrika baru-baru ini.
Awalnya, Omnipork akan diluncurkan di kota-kota besar, di mana orang-orang cenderung lebih berpikiran terbuka, lebih siap untuk mencoba sesuatu yang baru, dan lebih terhubung dengan tren global.
Tetapi, mengingat e-commerce yang berkembang di negara itu, berarti lokasi geografis tidak benar-benar menjadi masalah bagi Right Treat, sehingga memungkinkan perusahaan untuk menjangkau konsumen di kota-kota kecil dan desa-desa lainnya.
Alternatif yang lebih sehat?
Yeung tidak ragu bahwa produk nabati akan berkembang di China.
"Selama 5.000 tahun, China bukan negara peminum kopi. Tapi hari ini, kedai kopi ada di mana-mana. Di masa lalu, orang China bukan pecinta steak. Tapi sekarang, McDonalds ada di mana-mana," kata Yeung.
Omnipork sendiri diklaim memiliki 71 persen lemak jenuh lebih rendah dan 62 persen kalori lebih rendah daripada daging babi asli, serta 233 persen lebih tinggi kalsium dan 53 persen lebih tinggi zat besi, demikian menurut Yeung.
Tetapi tidak semua orang setuju dengan argumen ini. Meskipun alternatif daging digembar-gemborkan sebagai era baru teknologi pangan dan menjadi andalan bisnis baru yang diproyeksikan bernilai miliaran dolar selama 10 tahun ke depan, mantan Menteri Pertanian AS Dan Glickman mengatakan ada kekurangan ilmu gizi untuk mendukung klaim produsen.
Pertanyaan apakah pengganti daging nabati lebih baik bagi konsumen daripada daging, tetap membutuhkan penelitian, demikian kata Glickman dalam sebuah wawancara dengan CNBC baru-baru ini.
"Itu pasti tidak akan membuatmu sakit. Bisa terasa enak, tapi itu tidak berarti lebih baik untukmu," katanya.
Lebih banyak penelitian perlu dilakukan sebelum menyimpulkan bahwa produk nabati adalah penyedia nutrisi yang lebih baik.
Dan meski saat ini Omnipork baru ramai di kawasan China dan Asia Timur lainnya, bukan tak mungkin suatu hari produk daging babi nabati ini masuk ke pasar Indonesia. Lalu, akankah MUI memberinya label halal? Kita tunggu saja.