Suara.com - Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan di Nagasaki, Jepang, sesaat setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom pada 9 Agustus 1945.
Kota luluh lantak, korban tewas puruk-parak dengan luka bakar menganga, suasana mendadak hening bersama rintihan mereka yang masih bertahan dan kobaran api yang menyala.
Ini adalah kali kedua setelah Hiroshima pada 6 Agustus 1945 diluluh lantakkan dengan bom atom yang sama.
Pemandangan mengerikan itu mendesak pemerintah Jepang menyerah pada sekutu tepat 15 Agustus 1945. Dua hari setelahnya Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Dua tragedi besar yang sekaligus mengubah cara pandang dunia terhadap bengisnya peperangan tersebut sekaligus membuat pemerintah Jepang menarik diri dari segala macam konflik yang berpotensi menimbulkan perang.
Lima puluh tujuh tahun setelah tragedi berdarah tersebut, pemerintah Jepang membangun monumen Nagasaki National Peace Memorial Hall.
Bangunan ini secara khusus dibangun dan didedikasikan teruntuk korban bom atom dan keluarga mereka yang ditinggalkan. Di saat bersamaan, National Peace Memorial Hall sekaligus pengingat pentingnya perdamaian.
Di dalam museum, kita dapat menyimak aneka catatan, potongan baju hingga potret mereka yang terdampak bom atom di Jepang.
Nama-nama korban tewas yang terdaftar dalam tragedi tersebut ditampilkan melalui LCD beserta foto diri masing-masing korban.
Di area perpustakaan, para pengunjung dapat menyimak dampak paparan radiasi di Nagasaki hingga puluhan tahun ke depan.
Melalui museum berdesain futuristik ini para pengunjung diajak melihat kembali betapa buruknya dampak perang yang tak hanya mengorbankan manusia namun juga lingkungan.