Suara.com - Kapal-kapal tradisional menambatkan diri di tepi pantai di Pulau Nasi, Aceh Besar.
Beberapa nelayan di atasnya melemparkan jala ke hamparan laut nan biru. Sementara beberapa yang lain sibuk menjaring dan memancing.
Selain nelayan-nelayan yang menambatkan sauh di tepian, satu dua pemuda dengan peralatan menyelam, mengarungi lautan. Mereka si pemburu gurita tradisional di Aceh.
Nyaris setiap hari, para pemburu gurita menyisir perairan, mencari gurita yang lihai bersembunyi di antara bebatuan karang.
Baca Juga: Sambut Hari Kemerdekaan Indonesia, Ini 5 Ide Kuliner Bertema Merah Putih
Mata mereka dituntut jeli membedakan gurita dan batu, sebab hewan laut satu ini memang cerdik beralih rupa.
Begitu seekor gurita terlihat, dengan cekatan para pemburu menombakkan gancu, sejenis besi dengan ujung tajam melengkung yang siap menerkam bagian tubuh gurita.
Selama berjam-jam mereka mengarungi lautan, belasan gurita bisa didapatkan. Jika beruntung, rata-rata para pemburu gurita bisa merogoh kocek hingga Rp 200 ribu per hari.
Di kawasan pesisir Aceh Besar, pemburu gurita tradisional bukanlah profesi yang populer. Banyak dari mereka memilih menjadi nelayan ikan hingga pencari rotan.
Profesi ini pun kian terancam sebab tak sedikit pemburu gurita hari ini menggunakan bom untuk mencari hewan bertentakel tersebut sebab dinilai lebih praktis kendati pun dapat merusak karang dan ekosistem laut.
Baca Juga: Festival Kuliner Joglosemar, Ada Soto Seger Hingga Sate Klathak!