Suara.com - Ada sebuah kebiasaan jika seorang wanita belum menikah akan disebut "mi-hon" di Korea. Namun saat ini, semakin banyak pihak yang keberatan dipanggil dengan sebutan seperti itu.
Dilansir dari laman Bloomberg, ada seorang YouTuber wanita Korea bernama Baeck Ha-na. Secara gamblang dirinya sangat keberatan disebut "mi-hon".
Ia adalah bagian dari kelompok wanita Korea yang tumbuh dan bertekad menolak pernikahan dan menjadi ibu. Keputusan semacam itu semakin meningkatkan tantangan demografi dan ekonomi bagi pemerintah.
Diketahui, negara tersebut tengah menghadapi salah satu tingkat kelahiran terendah di dunia dan kekurangan dana pensiun yang semakin sulit untuk ditutup dengan lebih sedikit pekerja yang bergabung dalam angkatan kerja.
Baca Juga: Tak Ragu Berkomitmen, Ini Alasan Pria Ingin Cepat Menikah
"Masyarakat membuat saya merasa gagal berada di usia 30-an dan belum menjadi istri atau ibu," kata Baeck.
"Daripada memiliki seseorang, saya sekarang memiliki masa depan yang lebih ambisius untuk diri sayasendiri," ucap Baeck lagi.
Baeck dan temannya, Jung Se-Young memanfaatkan kanal YouTube mereka, SOLOdarity untuk membahas pentingnya melawan budaya patriaki di Korea Selatan.
Selain itu, mereka juga menyediakan tempat bagi para perempuan yang ingin menjadi diri sendiri. Kanal yang dibuat lima bulan lalu itu kini sudah mempunyai 23 ribu lebih subsribers.
Baeck juga bergabung dengan organisasi EMIF atau "Elite without Marriage, I am going Forward". Anggota EMIF sering kopi darat untuk berbagi cerita rasanya menjadi wanita yang tidak ingin menikah dan menjadi ibu.
Baca Juga: Hadapi Banyak Rintangan, Pasangan Transgender Pertama ini Resmi Menikah
Mereka juga menyayangkan sikap pemerintah yang berusaha menghentikan penurunan tingkat kelahiran. Sebagian besar dari mereka memilih tetap melajang. Tagar buatan mereka, #NoMarriage, bahkan telah mendapat banyak perhatian baik dari dalam maupun luar negeri.
Walaupun Korea Selatan tengah menghadapi tantangan ekonomi akibat jumlah populasi yang terus menurun. Baeck dan temannya menilai upaya pemerintah meningkatkan tingkat kelahiran terasa 'kejam' dan 'mengecewakan'.
Saat ini, pemerintah masih menawarkan insentif dan biro jodoh bagi para lajang di Korea Selatan. Bahkan, ada kota yang meminta wanita menyerahkan foto lengkap dengan formulir informasi pribadi yang berisi tinggi dan berat badan, serta pengalaman kerja.
Orang-orang seperti Baeck menganggap kebijakan Korea Selatan saat ini tak memberikan dukungan nyata kepada wanita dan semua yang telah mereka alami usai melahirkan anak, baik secara fisik dan mental.
Mereka juga yakin karier dan impian mereka terpaksa dikorbankan jika punya anak, terutama di pasar kerja Korea Selatan yang kompetitif.