Noriyu dan Perjalanan Undang-Undang Kesehatan Jiwa

Vania Rossa Suara.Com
Senin, 22 Juli 2019 | 08:00 WIB
Noriyu dan Perjalanan Undang-Undang Kesehatan Jiwa
Nova Riyanti Yusuf. (Suara.com/Vania Rossa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Dan di antaranya kesibukannya sebagai politisi dan dokter spesialis kesehatan jiwa, ia pun meminta bantuan teman-temannya dari para ahli dan LSM untuk membuat naskah akademik. "Modalnya cuma menyediakan tempat dan makan," katanya sambil tertawa.

Yang paling menyesakkan dada adalah ketika harus ke legal drafter. "Saya boleh punya ide, tapi kan ahli hukum yang akan membahasakan. Ketika ahli hukum bilang ini waktunya pembayaran, dan menyebut angka sekian ratus juta, saya mau pingsan," kisahnya.

Dua tahun RUU kesehatan jiwa yang dikawal Noriyu tak lolos prioritas. Baru pada pertengahan 2012 RUU kesehatan jiwa menjadi prioritas. Saat itu bertepatan dengan dirinya diangkat menjadi wakil ketua komisi IX, sehingga ia bisa menjadi ketua panitia kerja (panja) rancangan undang-undang kesehatan jiwa. "Semua seperti sudah ada yang mengatur. Saya hanya berusaha sebagai manusia. Dan ketika saya serius, saya merasa ikhtiar pasti diijabah entah bagaimana. Itu di luar kuasa saya," kata Noriyu mengenang keajaiban yang dialaminya.

Nova Riyanti Yusuf menceburkan diri ke kolam setelah UU kesehatan jiwa disahkan. (Instagram/@true_noriyu)
Nova Riyanti Yusuf menceburkan diri ke kolam setelah UU kesehatan jiwa disahkan. (Instagram/@true_noriyu)

Sampai akhirnya tahun 2014, palu diketok mengesahkan Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Selebrasi unik pun dilakukan Noriyu, yang mengaku pernah cuti sebulan dari kuliah spesialisasinya untuk menulis skenario Merah Itu Cinta. Ia langsung keluar gedung menuju kolam air mancur kompleks DPR RI untuk nyebur merayakan 'perjuangannya'.

Baca Juga: WHO Angkat Ibunda Lady Gaga Jadi Duta Kehormatan Kesehatan Jiwa

Lalu, apa dampak dari lahirnya UU Kesehatan Jiwa ini? Mengutip dari tulisan Noriyu di Rappler, UU 18/2014 ini mengatur secara detil berbagai upaya kesehatan jiwa, mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Aspek-aspek seperti modernisasi, bonus demografi, bencana alam, kompetisi, globalisasi, dan lain-lain, menuntut UU 18/2014 agar lebih komprehensif melindungi rakyat Indonesia.

Noriyu juga menerima pesan baik dari surel, Twitter, Facebook, atau pun Instagram, yang memberitahukan bahwa telah lahir berbagai organisasi kesehatan jiwa baru. Organisasi-organisasi ini sederhana, bahkan ada yang belum terlegalisasi tetapi menggeliat dalam upaya promosi dan preventif kesehatan jiwa, dari mulai outreach untuk screening gangguan jiwa, edukasi masalah kecemasan, menularkan kebahagiaan untuk pencegahan depresi, dan inisiatif-inisiatif lain yang kreatif.

UU Kesehatan Jiwa ini mungkin juga akan menjadi kunci yang membuka pasung-pasung terhadap lebih dari 56.000 orang dengan gangguan jiwa di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Noriyu, pemasungan adalah sebuah fenomena pelanggaran hak asasi manusia yang fantastis. Hanya saja, ia yakin bahwa sebagian besar pemasungan adalah keputusan terakhir dan terberat bagi keluarga akibat tidak tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi, lengkap, berjenjang, komprehensif, dan menganut prinsip equality – equity.

Saat ini, Noriyu masih setia menunggu hadirnya Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini, yang seharusnya ditetapkan paling lama satu tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan.

Baca Juga: Bisa Ganggu Kesehatan Jiwa, Tombol Snooze Alarm Bakal Dihapus Apple?

"Undang-Undang ini disahkan Agustus 2014. Dan ini sudah tahun 2019. Artinya..." Noriyu menggantung kalimatnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI