Suara.com - Bagi banyak orang, Undang-Undang Kesehatan Jiwa ini mungkin tampak tidak bermakna apa-apa. Tapi bagi para ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) dan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) beserta keluarganya, Undang-Undang Kesehatan Jiwa adalah secercah harapan. Harapan bahwa mereka bisa mendapat akses medis untuk masalah kejiwaan yang mereka hadapi, serta harapan terbebas dari stigma yang selama ini lekat di masyarakat tentang orang dengan masalah kejiwaan.
Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang saat ini berlaku di Indonesia, diinisiasi oleh Nova Riyanti Yusuf, atau lebih sering disapa sebagai Noriyu, saat menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009- 2014.
Semuanya bermula ketika Noriyu menjalani residen sebagai spesialis kesehatan jiwa.
"Saya suka sedih menghadapi keluarga-keluarga pasien. Waktu itu belum ada BPJS. Dan sering keluarga pasien bilang, 'Dok, saya nggak ada uang, saya kasih cincin saja ya, ke dokter.' Lalu saya jawab, 'Bu, pertama, Ibu harusnya bayarnya ke kasir, bukan ke saya. Dan yang kedua, lagian Ibu kan belum tahu bayarnya berapa, siapa tahu nggak semahal cincin itu.' Dan masalah seperti ini terus terjadi dalam ragam kisah yang bermacam-macam," cerita Noriyu kepada Suara.com saat ditemui di ruang kerjanya di Gedung Nusantara I, kompleks DPR RI, Jakarta.
Baca Juga: WHO Angkat Ibunda Lady Gaga Jadi Duta Kehormatan Kesehatan Jiwa
"Saya berpikir, andai ada sistem yang mempermudah itu semua. Dan pada akhirnya, saya bukannya ingin mengembangkan diri di subspesialisasi apa, tapi malah ingin menjadi law maker, pembuat kebijakan," aku Noriyu yang saat ini merupakan anggota DPR RI Pergantian Antar Waktu (PAW).
Awal masuk DPR tahun 2009, Noriyu sebagai anak baru, sama sekali tidak tahu jalur apa yang bisa ia gunakan untuk mengajukan rancangan undang-undang kesehatan jiwa yang diimpikannya.
Seperti ada 'tangan' yang mengatur, 1 Oktober 2009 Noriyu dilantik sebagai anggota DPR RI, akhir November ada rapat di komisi yang bisa didatanginya karena kebetulan saat itu ia sedang tidak ada tugas kemana-mana.
"Ternyata, rapat itulah yang menentukan rancangan undang-undang kesehatan jiwa masuk ke Prolegnas, yaitu Program Legislasi Nasional yang disusun DPR setiap 5 tahun atau 1 periode," kata Noriyu.
"Bayangkan kalau saya tidak datang ke rapat itu. Untung saya saat itu pas lagi ada di Jakarta, dan untung saya nekat angkat bicara. Bayangkan saja, yang memimpin sidang waktu itu senior, yang sudah jadi anggota DPR tiga periode. Saya bilang, saya mau satu dimasukin, kesehatan jiwa. Bengong semua. Apaan tuh? Apa bedanya sama psikologi? Saya harus menjelaskan, bahwa ini kesehatan jiwa, yang memayungi psikiater dan psikolog. Saya bertahan menjelaskan dan menjawan setiap pertanyaan orang-orang. Sampai akhirnya, keluar kata 'Oke'. Ada juga yang masih pesimis, tapi saya bilang, 'Dibahas di tahun terakhir 2014 juga tidak apa-apa, di akhir masa jabatan, yang penting masuk dulu.' Dan akhirnya, RUU kesehatan jiwa pun masuk Prolegnas 2010-2014. Lega, satu langkah selesai," kisah Noriyu.
Baca Juga: Bisa Ganggu Kesehatan Jiwa, Tombol Snooze Alarm Bakal Dihapus Apple?
Perjalanan masih panjang. Untuk menjadi UU, harus dibuat prioritas setiap tahun. Noriyu harus mengumpulkan naskah akademik sebagai syarat untuk menaikkan kasta RUU kesehatan jiwa menjadi prioritas. "kalau tidak jadi prioritas, nggak akan dibahas," kata Noriyu.