Rumah besar atau Omo Sebua yang masih utuh tersebut berada di tengah perumahan penduduk desa Bawomataluo. Sebuah keunikan tersendiri melihat Omo Sebua yang merupakan rumah adat terbesar di sana dengan 60 tiang dan beberapa diantaranya merupakan tiang kayu bulat yang sangat besar.
Uniknya, Martinus Muarata Fao, keturunan Raja Keenam Loehe Fao yang membangun rumah tersebut, menuturkan kayu-kayu tersebut didatangkan dari pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Nias dengan cara dihanyutkan dan ditarik dengan kereta peluncur.
Rumah raja ini dibangun oleh 40 pekerja ahli, dan menghabiskan masa empat tahun untuk merampungkannya. Selama empat tahun itu, tiap harinya dua ekor babi disediakan untuk makan para pekerja. Dan puncaknya, 300 ekor babi dihidangkan saat rumah raja ini selesai dibangun.
Seluruh taring babi saat peresmian rumah adat dalam pesta adat yang digelar saat tidak disia-siakan, melainkan dijadikan pajangan di ruang singgasana raja.
Baca Juga: Ubud Bali Ditetapkan Sebagai Destinasi Gastronomi Dunia
Melihat Tradisi Lompat Batu Tinggi
Tradisi lompat batu tinggi menjulang hingga 2,10 meter masih dilestarikan oleh pemuda di Desa Bawamataluwo. Tradisi ini juga sempat mencuri perhatian pada tahun 90 an hingga diabadikan dalam gambar uang seribu pada tahun itu di Indonesia.
Namun, hilangnya peredaran uang seribu tersebut tidak memudarkan minat wisatawan untuk melihat tradisi tersebut.
Tradisi yang biasa disebut fahombo batu adalah tradisi asli suku Nias di Desa Bawamataluo yang sudah dikenal di Indonesia maupun mancanegara ini masih fenomenal hingga tarif melihat aksi pemuda setempat melompati batu pun dibandrol Rp 200 ribu sekali lompatan.
Tradisi ini dilakukan pada zaman dulunya untuk latihan perang para pemuda suku Nias.
Baca Juga: Bukit Klangon, Destinasi Wisata dengan Pesona Alam Menakjubkan di Jogja
Jika ada seorang pemuda yang berhasil melewati batu ini sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya ketika ada konflik atau perang di zaman dulunya.