Suara.com - Dindin Mediana, meninggalkan dunia perbankan yang telah digelutinya selama 12 tahun di Singapura, karena gemas dengan kuliner Indonesia yang seperti tidak memiliki jati diri, baik dari segi bahan baku maupun cara produksinya.
Pulang kampung ke Indonesia, Dindin Mediana menapaki bisnis perkopian bersama suaminya. Selama lima belas tahun ia belajar bagaimana meningkatkan kualitas para petani kopi Indonesia.
Wanita berkacamata itu bercerita tentang ide-ide mengangkat kuliner Indonesia dengan segala keotentikannya. Ia kemudian mendirikan Javara Culture Cafe, sebuah kafe yang menyandingkan bahan baku otentik. Kafe itu kini sudah ada tiga, yaitu di Kemang Jakarta, Nusa Dua Bali, dan terbaru di kawasan heritage Kota Lama Semarang.
Laboratorium Kuliner
Baca Juga: Wow, Kafe di Korea Selatan Ini Punya 'Stairway to Heaven'
Dia menyebut, kafe ketiganya yang berada di Jalan Perkutut nomor 2 Kota Lama Semarang itu sebagai laboratorium kulinernya. Bahwa sebenarnya Indonesia itu memproduksi banyak sekali bahan baku kuliner, tapi orang tidak tahu bagaimana cara memprosesnya.
"Saya bertemu founder Javara Ibu Helianti Hilman, sepakat buka Javara Culture Kafe dengan semangat shop, eat, and learn. Jadi kita makan di situ, kita belanja bahan bakunya, lalu kita belajar memasaknya. Belajarnya bisa anything, bagaimana memasaknya, dan menggunakannya," katanya, saat opening kafe pada Kamis (30/5/2019) malam.
Konsep dari nama Javara mengambil nama salah satu UKM yang didirikan rekannya, Helianti Hilman, merupakan UKM yang berhubungan dengan sekitar 100 ribu petani kopi, yang berdiri sudah sepuluh tahunan.
"Basic-nya, Javara membantu para petani untuk meningkatkan nilai jual produksinya, misal membantu mendapatkan lahan sertifikat petani, seperti sertifikat organik lahan petani. Karena keotentikan dari organik nilainya lebih tinggi. Tanpa bahan kimia, itu adalah konsep Javara," ujarnya.
Sebagai contoh, keotentikan salah satu menu andalan di Javara Culture adalah 12 varian kopi, dengan 11 single origin dan 1 house blend. Varian single origin ada dari Sumatera, Flores, Bali, dan Jawa Barat.
Baca Juga: Unik, Seperti Ini Penampakan Kafe Bertema Facebook di Jepang
"Ada 15 tempat (shelter) kopi, kerjasama dengan 20 ribu petani. Petani kita berikan penyuluhan, kalau mau jual kopi ke kita harus standar cara kita, salah satunya dengan harus petik merah," bebernya.
Selain langsung dari petani kopi, di Javara, untuk memproduksi kopi berkualitas menyediakan sebuah lahan (shelter) yang dia sebut sebagai kebun yang dijadikan hutan kopi (agro foresting). Bahwa kopi hasil terbaik cukup dengan 40 persen kebutuhan sinar matahari.
"Agro foresting, jadi kopi kita ditanam bukan seperti industri, bukan perkebunan, justru kita membuat seperti suatu hutan untuk kopi-kopi kita, karena kopi pada intinya hanya membutuhkan 40 persen sinar matahari untuk hasil terbaik," bebernya.
Caranya, pada lahan satu hektar, minimal akan ditanami 16-30 jenis tanaman, ada jati, nangka, dan cokelat. Setelah pohon itu tinggi, baru ditanam kopi di sekelilingnya.
"Juga tergantung dari endeminya, misal di shelter Bali, Kintamani, itu pohon jeruk, baru dibawahnya ada pohon kopi. Jadi, rasa kopi yang dari Bali itu rasanya agak asam, itu dari jeruknya, bukan dari Arabica. Ada juga rasa cokelat, karena memang ada di pohon cokelat," jelasnya.
Kopi-kopi itu kini tersedia di Javara Culture Cafe, ada yang berbentuk bubuk, green bean, sachet, atau bag. Yang paling istimewa di sini ada kopi Flores, jika ingin menikmatinya hanya ada di tiga tempat, yakni Javara Cultere, desa Flores langsung, atau di Perancis.
"Kami tidak jual keluar karena stok terbatas, dan kenapa menikmati harus di Perancis, karena yang pertama menemukan kopi Flores itu orang Perancis, dia stok banyak," katanya, yang menyayangkan hasil bumi asli Indonesia dibawa orang asing.
Menu asli Indonesia lainnya yang ia jaga keotentikannya, di antaranya ada sop buntut, sop ikan baramundi, ayam betutu, dan nasi telang. Sementara makanan ringan ada pisang goreng sorghum, es cendol, bakwan jagung, salad organik, kopi susu aren, lemon kemangi, teh pandan, dan masih banyak lainnya.
"Kita makanan asli Indonesia, kita tidak ada import, kalau cari salmon di sini tidak ada, tapi kalau baramundi, tuna, udang kita ada. Jadi hasil bumi asli Indonesia," katanya.
Dia juga menjual tujuh macam beras asli Indonesia dari beras warna putih, hitam, merah, pink, dan kuning. Garam organik asli Bali juga dia sediakan berjejer dengan mi organik, minyak kelapa, tepung sorghum, dan banyak lainnya.
"Semua masakan kami pakai minyak kelapa, bukan sawit, karena sawit itu mencemari tanah. Segala tepung kita pakai sorghum, karena ternyata Indonesia itu pengimpor terigu terbesar," bebernya.
Dia berharap, melalui laboratorium kulinernya itu mampu meningkatkan pamor otentiknya masakan Indonesia, juga bisa menularkan untuk kembali mengonsumsi segala makanan berbahan organik.
Kontributor : Adam Iyasa