Menolak Lupa Perjuangan Aktivis 98 Lewat Film Pendek NAWAL

Selasa, 28 Mei 2019 | 12:13 WIB
Menolak Lupa Perjuangan Aktivis 98 Lewat Film Pendek NAWAL
Film NAWAL ajak anak muda mengingat sejarah reformasi. (Dok. NAWAL)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pergolakan politik merupakan sejarah bangsa yang tak boleh dilupakan, khususnya untuk anak-anak muda.

Meski tidak mengalami masa-masa reformasi 1997-1998, namun tak ada salahnya ank muda mengetahui apa yang pernah terjadi pada era tersebut. Salah satunya, fakta bahwa ada sejumlah orang yang hilang atau dihilangkan paksa di tengah gelombang reformasi yang diperjuangkan demi adanya perubahan di negeri ini.

Penculikan aktivis pada 1997-1998 meninggalkan luka mendalam. 21 tahun sudah berlalu, penuntasan kasus penculikan aktivis belum juga menemukan titik terang. Komnas HAM mencatat ada 23 aktivis pro demokrasi yang menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa pada 1997-1998.

Sembilan orang dilepaskan oleh penculik setelah mengalami penyiksaan. Sementara 13 orang lainnya hingga saat ini masih hilang.

Baca Juga: Memoar Aktivis 98 yang Diculik (2): Hendrawan dan Cerita Secangkir Kopi

Diilhami fakta sejarah tersebut, sekumpulan anak muda Bogor memproduksi sebuah film pendek berjudul NAWAL, berasal dari kata yang dibaca terbalik, LAWAN. NAWAL berkisah tentang seorang mahasiswa bernama Mahatma atau biasa disapa Maha, yang mendapat kabar bahwa banyak rekannya sesama aktivis pro demokrasi hilang dan diduga diculik penguasa.

Ibunda Maha yang mengetahui hal tersebut melarang putera kesayangannya itu untuk kembali ke Jakarta. Namun Maha tetap bersikeras kembali ke Jakarta untuk mengetahui keadaan teman-temannya. Dan akhirnya dia juga ikut diculik.

Ibu dan adiknya, Drupadi, menunggu kepulangan Maha. Pada akhirnya mereka tahu bahwa Maha dihilangkan secara paksa. Namun mereka selalu berharap Maha akan kembali di pagi hari dan memakan sarapan kesukaannya bersama mereka. Menurut sang sutradara, Bayu Adityo Prabowo, film Nawal adalah sebuah pesan tentang rasa kemanusiaan yang mungkin luput dari perhatian kita semua.

"Sudah 21 tahun berlalu, mereka lenyap, keluarga mereka tetap menanti hingga hari ini. Semangat perjuangan mereka tetap hidup dan tidak akan pernah mati," ujar sutradara jebolan Institut Kesenian
Jakarta ini dalam rilis yang diterima Suara.com.

Sementara menurut para pemainnya, yang terdiri dari tiga generasi, yakni kelahiran tahun 1970-an, 1990-an, dan 2000-an, sepakat bahwa film ini merupakan salah satu upaya agar tragedi kemanusiaan pada masa
reformasi tetap menjadi bahan renungan bagi generasi Indonesia di masa-masa mendatang.

Baca Juga: Menikah, Tugas Nadine Chandrawinata Sebagai Aktivis Lingkungan Berubah

Noviya Setiyawaty, pemeran Ibu, yang saat mahasiswa mengalami langsung bagaimana hiruk pikuk aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, bahkan hingga terjebak dan saat massa mengepung kampusnya ketika kerusuhan Mei 1998, merasa film ini seperti membawanya ke masa-masa mencekam saat itu.

"Nawal membawa saya kembali bercermin ke masa tragedi reformasi 1998, bercermin kembali pada kejadian tragis yang menjadikan Indonesia berada di titik sekarang ini. Namun, film ini mampu membawa saya menyelami satu sisi yang sempat luput dari perhatian saya, yaitu sisi derita dan arti sebuah kehilangan dari seorang ibu, dalam sebuah keluarga," ujar ibu empat anak yang sehari-harinya berprofesi sebagai pendidik dan pemain teater ini.

Hal senada diungkapkan Julfikar Mahaputra, pemeran tokoh Maha. Menurutnya, film Nawal mengingatkan kita semua, bahwa kemewahan yang didapat kita sebagai bangsa Indonesia hari ini adalah hasil perjuangan yang tidak mudah.

"Yang kita nikmati hari ini adalah hasil perjuangan yang sertai tetesan darah dan airmata para pejuang reformasi. Sampai detik ini, keadilan adalah hal yang dirasa tak pernah dicicipi oleh keluarga korban oleh
sebab itu satu kata yang tak boleh lepas dari sekedar menolak lupa, LAWAN," tandas Julfikar.

Sedangkan Nadia Karina, pemeran Drupa, yang merupakan remaja kelahiran tahun 2000-an, tentunya jauh setelah masa reformasi, punya pendapat tak jauh berbeda. Menurutnya, perjalanan waktu tak akan mengubah keadaan para keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998, mereka masih menunggu dan akan tetap menunggu.

"Meskipun saya jauh dari keberadaan kala tragedi itu terjadi, bukan berarti waktu dapat mengisi kehilangan keluarga-keluarga korban ketidakadilan. Nawal adalah pengingat bahwa mereka adalah manusia, yang dulu mengisi kehidupan orang-orang disekitarnya," tandas siswi SMA yang akrab disapa Karin itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI