"Nawal membawa saya kembali bercermin ke masa tragedi reformasi 1998, bercermin kembali pada kejadian tragis yang menjadikan Indonesia berada di titik sekarang ini. Namun, film ini mampu membawa saya menyelami satu sisi yang sempat luput dari perhatian saya, yaitu sisi derita dan arti sebuah kehilangan dari seorang ibu, dalam sebuah keluarga," ujar ibu empat anak yang sehari-harinya berprofesi sebagai pendidik dan pemain teater ini.
Hal senada diungkapkan Julfikar Mahaputra, pemeran tokoh Maha. Menurutnya, film Nawal mengingatkan kita semua, bahwa kemewahan yang didapat kita sebagai bangsa Indonesia hari ini adalah hasil perjuangan yang tidak mudah.
"Yang kita nikmati hari ini adalah hasil perjuangan yang sertai tetesan darah dan airmata para pejuang reformasi. Sampai detik ini, keadilan adalah hal yang dirasa tak pernah dicicipi oleh keluarga korban oleh
sebab itu satu kata yang tak boleh lepas dari sekedar menolak lupa, LAWAN," tandas Julfikar.
Sedangkan Nadia Karina, pemeran Drupa, yang merupakan remaja kelahiran tahun 2000-an, tentunya jauh setelah masa reformasi, punya pendapat tak jauh berbeda. Menurutnya, perjalanan waktu tak akan mengubah keadaan para keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998, mereka masih menunggu dan akan tetap menunggu.
Baca Juga: Memoar Aktivis 98 yang Diculik (2): Hendrawan dan Cerita Secangkir Kopi
"Meskipun saya jauh dari keberadaan kala tragedi itu terjadi, bukan berarti waktu dapat mengisi kehilangan keluarga-keluarga korban ketidakadilan. Nawal adalah pengingat bahwa mereka adalah manusia, yang dulu mengisi kehidupan orang-orang disekitarnya," tandas siswi SMA yang akrab disapa Karin itu.