One memaparkan, dalam budaya patriarki, laki-laki seolah ditempatkan dalam struktur hierarkis dengan kriteria tertentu, seperti 'sangat laki-laki' dan 'kurang laki-laki'. Jika ada laki-laki yang tidak mampu mencapai kriteria ideal yang dikonstruksikan, dia pun rentan menjadi objek guyonan seksis, pelecehan, bahkan kekerasan.
Bagaimanapun, kuncinya adalah saling menghargai, berempati, dan tidak merendahkan orang lain. ''Karena kita tidak ingin kejadian yang buruk tersebut menimpa diri kita, ya jangan melakukan itu pada orang lain. Setiap orang berhak hidup nyaman, tanpa gangguan, dan kekerasan,'' kata One kemudian.
Saat korban berusaha bersikap asertif, jangan sekali-kali disepelekan. Dampak guyonan seksis sangat mungkin tidak sesederhana yang kita pikirkan. Saat korban melapor, berarti dia membutuhkan perlindungan dan dukungan. Bahkan, mungkin saja ada bukan hanya guyonan seksis yang mengganggunya, melainkan sudah terjadi pelecehan lain.
Psikolog anak dan remaja, Erna Marina Kusuma, pernah menyampaikan saran yang terdengar klasik tapi memang paling krusial. Menyebut korban baperan benar-benar bukan pilihan.
Baca Juga: Agar Tak Ada Lagi Kasus Audrey, Sosiolog : Tanamkan Nilai Anti Kekerasan
''Yang penting itu hargai perasaannya, hargai ketakutannya, dan hentikan kata-kata yang menyalahkan korban kekerasan seksual, sekarang,'' ujarnya.
Senada dengan Erna, One juga mengungkapkan, ''Yang perlu diingat juga adalah agar korban tidak menyalahkan diri sendiri. Tidak ada tindak pelecehan maupun kekerasan apapun yang dibenarkan.''
Jadi sudah tahu dong bagaimana buruknya bercandaan yang mengandung guyonan seksis bisa melukai hati perempuan, dan hal itu termasuk kekerasan verbal lho.