Suara.com - Pesta demokrasi Indonesia semakin dekat. Tapi bukannya dirayakan dengan sukacita, perbedaan politik justru menimbulkan kerenggangan, bahkan pada pasangan, keluarga, hingga kolega.
Sialnya, dua polarisasi tersebut sangat kental terasa bukan hanya di media sosial tapi juga di kehidupan sehari-hari.
Jujur saja, pasti ada oknum keluarga yang gontok-gontokkan karena beda pandangan politik kan?
Melihat fenomena tersebut, Pakar Ilmu Sosial, Budaya, dan Komunikasi dari Universitas Indonesia, Dr. Devie Rahmawati, S.Sos., M.Hum., CPR mengatakan bahwa konflik, termasuk karena beda pandangan politik, merupakan hal yang sangat wajar.
Baca Juga: Sebut Jokowi Bohong soal Asal SMA, Cewek Ini Rela Mati dan Masuk Neraka
Saat konflik terjadi, orang akan cenderung sulit mengendalikan diri, emosi, dan merasa dirinya adalah pihak yang benar.
"Kalau orang yang sedang konflik, tidak ada orang yang merasa dirinya salah. Makanya perlu penengah dan yang paling penting adalah mengambil inisiatif," kata Devie kepada Suara.com saat hadir dalam acara Mari Bicara, Indonesia di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa, (15/1/2019).
Penengah di sini, kata Devie, sesederhana lewat sajian makanan dan minuman.
"Sudah ada riset yang dilakukan dari tahun 1999 sampai 2006, dikatakan cara paling sederhana memulai percakapan adalah dengan makanan dan minuman. Begitu ada makanan dan minumam, cair," katanya lagi.
Maka dari itu, Devie menghimbau masyarakat yang tengah berkonflik dengan keluarganya sendiri--tidak hanya karena beda pandangan politik, untuk mau mengalah dengan bersikap lebih santai, salah satunya berinisiatif menawarkan makanan atau minuman.
Baca Juga: Prabowo Ngobrol ke Bule Saat Jalan Bareng SBY, PSI: Dimana Tata Kramanya?
Misal, lanjutnya, saat konflik tengah membara dan perang kata sedang terjadi, coba berhenti dan paksa lawan bicara untuk melakukan gencatan senjata selama setidaknya 20 menit.
"Selama pause 20 menit, isi dengan makanan. Itu ternyata efektif bahkan bisa menjembatani konflik yang sangat rumit," tambahnya.
Devie juga mengatakan bahwa makanan atau minuman merupakan bahasa persahabatan yang universal. Jadi tak ada salahnya untuk menggunakan teknik tersebut dengan orang berlatar belakang sosial, budaya dan agama apapun.