Suara.com - Mencuatnya kasus prostitusi artis membuat nominal Rp 80 juta yang diduga merupakan tarif sekali kencan menjadi viral. Banyak netizen yang berujar bahwa tarif tersebut terlalu mahal untuk sekali kencan.
Ada pula yang menganggap uang tersebut lebih bermakna jika dibelikan barang-barang lain. Psikolog Roslina Verauli dalam akun Instagramnya @verauli.id mengungkap bahwa komentar-komentar tersebut sama saja dengan merendahkan perempuan.
"Selama di ranah sosial masih berkomentar "Apa? 80 juta? Mahal Amiiiittt!" Atau masih beri pernyataan "Mending ada nilainya. Daripada gratisan. cuma dibayar dengan janji-janji?” Atau "Dasar.. Perempuan xxx..." (Itu) pernyataan yang sungguh menempatkan perempuan dalam posisi obyek," ujar Vera dalam unggahannya, Rabu (9/1/2018).
Pernyataan ini, kata Vera, tidak menghargai perempuan. Apapun situasinya. Martabat perempuan, kata Vera, tak selayaknya terikat dan ditentukan oleh keadaan. Komentar-komentar Netizen ini, sambung dia, tak lepas dari budaya patriarki yang melekat di Indonesia di mana kekuasan dan dominasi dipegang oleh kaum lelaki.
Baca Juga: Panik Vanessa Angel Digerebek Polisi, Manajer Kena Tipu Rp 20 Juta
"Perempuan? Sebagai obyek. Yang secara sosial akan disalahkan dan dalam kendali laki-laki. Terutama dalam seksualitas. Bahkan terdapat standar ganda. Lelaki dengan pengalaman seksual bersama banyak perempuan cenderung dipandang hebat. Perempuan? Sebaliknya!" imbuhnya.
Identitas artis VA yang dengan jelas terungkap sementara identitas lelaki yang menggunakan jasanya ditutup-tutupi, kata Vera, juga menunjukkan bahwa perempuan selalu menjadi objek penderita. Bahkan terkait aksinya perempuan dipandang sebagai pelaku perzinahan hingga penjaja seksual.
"Sementara lelaki tak memperoleh sanksi sosial seberat perempuan. Bahkan bebas berkelit. Tahukah bahwa pengguna layanan seksual tak terikat hukum karena tak diatur dalam undang-undang? Sungguh kontradiktif! Di tengah masyarakat yang konon sudah terpengaruh arus globalisasi dan mulai menganut budaya egalitarian, dimana laki-laki dan perempuan dipandang seimbang alias setara," tambah Vera.
Lebih menyedihkannya lagi, dalam struktur sosial pola ini diterima secara turun temurun. Baik oleh laki-laki dan perempuan. Perempuan seolah dituntut untuk memelihara dirinya. Bila secara sosial tak ingin dilecehkan atau dihina.
"Perempuan juga kerap dinilai dari penampilan fisiknya. Bahkan 'ditaksir' dari penampilannya. Tak heran, dalam kasus-kasus asusila yang menjadi obyek penderita umumnya perempuan," tandas Vera.
Baca Juga: Resmi Jadi Kepala BNPB, Doni: Terima Kasih Pak Presiden