Suara.com - Tsunami Selat Sunda yang terjadi pada Sabtu 22 Desember 2018 malam menyebabkan beberapa daerah terkena dampak. Seperti Pandeglang, Serang, Lampung Selatan, Tanggamus, dan Pesawaran.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) malaporkan jumlah korban jiwa tercatat sebanyak 373 orang meninggal dunia, 1.459 luka-luka dan 28 lainnya masih dinyatakan hilang.
Berdasarkan dugaan sementara BNPB penyebab tsunami yang tidak diawali gempa diakibat oleh longsoran bebatuan di bawah laut yang terkena dampak peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Memang, fenomena tsunami Selat Sunda berbeda dengan peristiwa tsunami yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia sebelumnya, seperti Aceh, Palu, dan Lombok. Banyak yang orang yang masih bingung mengapa bisa terjadi tsunami tanpa adanya gempa terlebih dahulu?
Baca Juga: Pasca Tsunami, BCA Pastikan Layanan Bank dan ATM di Anyer Tetap Beroperasi
Untuk menjelaskan hal itu, Jurnalis Alvi Apriayandi mencoba menerangkan melalui pengetahuannya. Ia juga memberi bukti tentang kondisi di bawah laut sekitar kawasan Gunung Anak Krakatau sebelum terjadi tsunami.
Melalui akun Instagram-nya, Alvi memperlihatkan temuannya kala menyelam setahun lalu bersama tim DOES asuhan Erix Soekamti cs yang tengah menyisir lautan di sekitar Gunung Anak Krakatau.
Bahawa, banyak bongkahan bebatuan berukuran besar di bawah laut di sekitar kawasan Gunung Anak Krakatau tersebut. Batu-batu berukuran besar itu sangat mungkin memengaruhi volume air dan berdampak tsunami tatkala longsor terjadi di bawah laut.
''Sekali lagi saya berikan gambaran kumpulan foto setahun kemarin kami pernah memprofilkan alam bawah laut Gunung Krakatoa. Kalo batuan erupsinya yang ada difoto ini aja segede "GABAN" nyemplung dalam jumlah besar, sangat memungkinkan secara logika dapat menyebabkan gelombang tinggi dengan jarak ratusan mil tanpa harus diawali oleh gempa dari gunung aktif itu sendiri,'' tulis akun alvi kgs.
Tampak dalam gambar yang dibagikan Alvi, bebatuan berukuran gigantis bekas letusan Gunung Krakatau tahun 1883 mendiami dasar laut Selat Sunda. Longsoran di bawah laut dengan bebatuan berukuran raksasa ini kemudian menyebabkan volume air naik dan menjelma menjadi tsunami.
Baca Juga: Band Element: Kalau Kami Manggung Mungkin Nggak Selamat
Di postingan berikunta, Alvi memperlihatkan pula fenomena alam yang unik di dasar laut Gunung Anak Krakatau. Salah satunya terdapat gelembung udara yang keluar dari celah-celah perut bumi dan cukup masif. Hangat air terasa dibagian itu dan bukan saja itu, pasir yang cukup kasar jika disentuh pun terasa hangat.
“Dari literatur yang saya baca, fenomena itu adalah bagian dari proses pembentukan gunung api aktif, terlihat dari pertumbuhan Gunung Anak Krakatau semakin besar. Fenomena itu merupakan gas bumi yang berasal dari perut bumi untuk mensuplai energi hingga terjadi pembentukan gunung api. Di Indonesia sendiri terdapat fenomena yang sama antara lain gunung api bawah laut Banua Wuhu, di pulau Mahangetan, Sangihe, Sulawesi Utara,” pungkasnya.