Suara.com - Beberapa waktu lalu Konsorsium SDG PIPE (Pemuda Indonesia Penggerak Perubahan) mengumumkan lima anak muda yang menjadi penerima penghargaan "Inovator Muda", salah satunya Budi Santoso.
Para penerima penghargaan, termasuk Budi Santoso berhasil menyisihkan 138 peserta inovasi Iainnya.
SDG PIPE adalah program yang diinisiasi oleh Go Global Indonesia bersama Campaign, PIRAC, dan Filantropi Indonesia dalam mendukung remaja Indonesia yang telah melakukan kegiatan sosial.
Program ini ditujukan untuk Young Changemakers di Indonesia berusia 17-35 tahun dan memiliki kegiatan atau ide inovasi sosial berbasis non digital dan digital, yang telah dijalankan minimal 1 tahun dan maksimal 3 tahun.
Baca Juga: Ingin Dapat Pasangan di Tinder, Ini Waktu Terbaik Memainkannya
Bicara soal penerima penghargaan, Budi Santoso yang juara di kategori Women and Youth Empowerment (Pemberdayaan Perempuan dan Pemuda), berbagi kisah dengan inovasi yang dibuatnya soal Forum anak dan Rumah Caper yang bergerak pada pemberdayaan anak perempuan untuk kesetaraan gender di Kabupaten Asahan yang ia dirikan sejak 2016.
"Awal kenapa saya membuat gerakan pemberdayaan anak perempuan untuk kesetaraan gender ini adalah ide yang ternyata saya lihat dari keluarga saya sendiri. Saudara saya menikah muda di usia 17 tahun saat itu, dan pernikahan muda memang sudah umum terjadi di desa saya di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara," ujar lelaki kelahiran Desa Danau Sijabut, 3 Mei 1999, membuka obrolan kepada Suara.com di Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Inilah yang menjadi alasan mengapa Budi Santoso tergerak untuk mengedukasi dan melakukan pemberdayaan perempuan terutama anak, agar tak menikah di usia dini. "Saya berpikir banyak anak dan remaja putri menjadi korban, karena menikah di usia dini, padahal mereka bisa mengejar cita-citanya dulu sebelum memutuskan menikah," ujarnya.
Menurut Budi Santoso, bicara pemberdayaan anak perempuan untuk kesetaraan gender di desanya bak bicara hal yang tabu. Apalagi Budi Santoso dianggap anak ingusan yang baru lahir kemarin lalu ingin mengubah kebiasaan dan tradisi yang sudah mengakar di desa tempat tinggalnya.
Isu pernikahan anak, kata dia, tak hanya booming di kota tetapi juga di desa, termasuk di kampung halamannya. Budi Santoso mengungkapkan bahwa kebanyakan remaja putri di desanya memiliki perspektif dan pemahaman bahwa usia 17 tahun waktunya menikah.
Baca Juga: Alasan Kenapa Tak Boleh Makan Sambil Berdiri
Pandangan inilah yang coba Budi Santoso ubah secara perlahan. Ia selalu mengatakan pada para remaja putri bahwa di usia muda dan produktif merupakan kesempatan mereka untuk meraih cita-cita misalnya bekerja sesuai keinginan sehingga bisa punya uang sendiri. Dengan edukasi tersebut diharapkan para remaja putri setelah lulus sekolah tidak langsung menikah.
"Edukasi tersebut selalu saya lakukan meski tidak mudah, karena di kampung saya, orang yang didengar itu orang kaya dan pemuka agama. Sementara saya umur belasan, ngomong masalah pernikahan dini, bisa dibayangin kan bagaimana para orangtua menganggap apa yang saya lakukan ini ya kayak angin lalu saja," bebernya.
Budi Santoso mengawali perjuangannya dengan mendatangi beberapa SD di sekitar desa. Ia mengaku resep untuk yakin menjalankan gerakan edukasi ini hanyalah soal komunikasi.
Berbekal prestasi sebuah acara di Jakarta yakni "Sehari Jadi Menteri", dan pernah Juara 1 News Anchor, Mahasiswa semester 3 UIN Syarif Hidayatullah ini akhirnya meyakinkan dirinya kalau ia bisa melakukan edukasi untuk menekan angka pernikahan dini di kampungnya.
"Untung ya Mas saya ini merasa bisa berkomunikasi dengan baik, pintar ngomong gitu. Itu tuh benar-benar pengaruh banget bagaimana apa yang saya ucapkan itu pertama paling tidak disimak saja dulu, ketika saya bicara ke kepala sekolah izin edukasi, itu juga menantang Mas. Saya ditanya, Anda siapa, dari mana, maksudnya apa, lalu tiba-tiba diizinkan bicara depan kelas, saya seperti oke ini awal yang menentukan," terangnya panjang lebar.
Setelah berkeliling edukasi, dan mendirikan Forum Anak yang kini menjadi Rumah Caper, banyak remaja dan orangtua mulai melek soal pemberdayaan anak perempuan untuk kesetaraan gender.
Satu Anak Berhasil, Orangtua Memberi Dukungan
"Waktu itu hanya beberapa anak yang bisa direkrut, untuk mau join dan belajar bersama, itu saya edukasi orangtuanya. Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu beberapa anak perempuan mulai berprestasi tidak hanya di sekolah, tapi juga menjadi salah satu pengurus di Forum Anak Nasional ," ucap Budi Sanoso bangga.
Keberhasilan tersebut, lanjut dia, tentu saja mendobrak stereotipe selama ini yang menyebut bahwa anak perempuan tak bisa menjadi ketua Forum Anak Daerah Sumatera Utara. "Itu dulunya ketua Forum Anak Daerah Sumut semua laki-laki, dan anak didik di Rumah Caper menjadi perempuan pertama yang jadi ketua. Ini prestasi hebat dan orangtuanya tentu saja bangga. Dari sini, mulai banyak orangtua yang percaya dengan apa yang saya lakukan dengan gerakan ini," jelasnya bersemangat.
Melihat hasil mengagumkan dari perjuangannya itu membuat orangtua Budi Santoso yang tadinya tak mendukung, kini melunak bahkan mendukung penuh kegiatan anaknya. Ini dibuktikan dari toko milik orangtua di samping rumahnya, kini dihibahkan kepada Budi Santoso sebagai tempat untuk belajar dan sebagai markas Forum Anak dan Rumah Caper yang didirikannya.
Pada 2018, sambung Budi Santoso, keanggotaan Forum Anak dan Rumah Caper yang didirikannya sudah memiliki relawan guru dan pengurus sebanyak 30 orang dengan anak didik yang bergabung mencapai 500 orang.
Meski rela bolak-balik Jakarta - Sumatera Utara, Budi Santoso mengaku masih bisa memantau Rumah Caper, karena diisi oleh banyak relawan yang memang peduli dengan gerakan yang ia buat, terlebih dengan kemenangan Rumah Caper sebagai salah satu inovator terbaik di ajang SDG PIPE.
Kegiatan Rumah Caper diakui Budi Santoso diisi oleh para relawan yang mengajar anak-anak hingga remaja. Mereka ada yang mengajar pelajaran sekolah hingga edukasi soal kesetaraan gender dan pemberdayaan anak.
"Saya buat kurikulum sederhana saja. Saya dapat kurikulum ini juga dari saya ikut event di Jakarta saat itu di kementerian, saya aplikasikan di Rumah Caper," ceritanya.
Lebih lanjut Budi Santoso mengatakan bahwa sebelum mendapat hadiah berupa uang dari program SDG PIPE, untuk pendanaan Rumah Caper, didapat dari hasil menjual barang-barang di pasar kaget. Nah, barang-barang yang dijualnya itu mulai dari baju bekas, aksesoris, dan lain-lain.
"Setelah menang, alhamdulillah jadi punya dana. Saya bisa buat modal mengajar anak-anak yang putus sekolah untuk saya arahkan berdagang saja," lanjutnya.
Lewat Rumah Caper Budi Santoso berharap, anak-anak didiknya memiliki kesadaran tinggi untuk meraih mimpi dulu sebelum memutuskan menikah di usia 17 tahun.
"Itu harapan dan target saya, terutama diawali di kampung saya. Untuk 18 tahun ke bawah anak perempuan harus bisa meraih mimpinya dulu, bekerja, dan banyak lagi yang bisa dilakukan," ungkapnya penuh harap..
Nah untuk yang ingin bergabung terutama para relawan di Kabupaten Asahan, bisa kontak di Instagram @rumah_caper.