Polemik Zero Dollar Tour Berdampak Serius pada Pariwisata Bali

MN Yunita Suara.Com
Kamis, 29 November 2018 | 10:13 WIB
Polemik Zero Dollar Tour Berdampak Serius pada Pariwisata Bali
Menteri Pariwisata, Arief Yahya. (Dok: Kemenpar)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Polemik berkepanjangan soal “Zero Dollar Tour” betul-betul berdampak serius terhadap kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali. Terutama wisman asal Tiongkok yang terlanjur kepincut dengan Pulau Dewata itu.

Polemik tersebut juga menciptakan iklim yang tidak kondusif buat industri pariwisata di Bali. Apalagi muncul berbagai pernyataan di media yang bernada keras dan kurang bersahabat menyikapi kasus tersebut.

“Saya sudah ingatkan jangan biarkan gaduh. Pariwisata itu industry hospitality, bisnis yang mengedepankan keramah-tamahan. Kalau masalahnya business to business, selesaikan di level asosiasi,” kata Menpar Arief Yahya.

Ia khawatir, kegaduhan seperti itu bisa dimanfaatkan oleh kompetitor Bali dan sekaligus kompetitor Wonderful Indonesia agar turis Tiongkok bisa berbelok ke negaranya.

Baca Juga: Sesmen Kemenpar Dukung Kolaborasi Industri-Komunitas GenPI

“Karena itu, harus hati-hati, jangan biarkan kegaduhan ini merusak iklim industri pariwisata sendiri. Kita semua yang rugi. Kata-kata keras itu bisa jadi bukan berasal dari kita tapi didesain oleh pesaing kita,” tambahnya.

Sejumlah langkah diambil oleh Kemenpar.  Arief sudah menyarankan agar Association of The Indonesian Tour and Travel Agencies (ASITA) melakukan pertemuan dengan China National Tourism Association (CNTA).

Mereka lantas membuat “White List Tour Agencies – Tour Operators.” yang direkomendasi oleh kedua belah pihak, sehingga mudah mengontrolnya ketika ada keluhan.

“Ini adalah cara yang paling smooth,paling bijak untuk menyelesaikan kasus Zero Dollar Tour di Bali. Ibaratnya, menangkap ikan, tanpa harus membuat keruh airnya. Dari situ, tidak perlu heboh-heboh, masing-masing asosiasi bisa saling mengontrol anggotanya untuk menjaga iklim bisnis yang baik,” ungkap Arief.

Ia menyebut, sektor Pariwisata menggunakan prinsip: Industry lead government support. Bukan sebaliknya. Ada banyak hal yang pemerintah tidak boleh terlalu ikut campur di urusan bisnis. Pemerintah lebih menjaga regulasi, agar iklim usaha pariwisata semakin kondusif dan berkembang.

Baca Juga: Genjot Pariwisata, Kemenpar Bikin Lomba Berhadiah Rp 130 Juta

Menurutnya polemik ini memang sudah berdampak pada pariwisata Bali. Beberapa maskapai mengeluhkan adanya pembatalan tiket demikian juga angka kunjungan yang menurun. Ini diperparah dengan beberapa bencana alam yang sempat melanda.

“Dari grafik angka kunjungan sangat jelas terlihat. Juli 2018 dan Agustus 2018 itu kita masih on track, masih on target. Juli tercapai 110%, Agustus 100,8%, rata-rata di atas 1,5 juta kunjungan per bulan. Tanggal 5 Agustus gempa di Rinjani, sampai harus mengevakuasi wisman Thailand dan Malaysia. Tanggal 19 Agustus 2018 gempa besar 7 SR, itulah yang menekan angka kunjungan di bulan September 2018,” jelas Arief.

Selanjutnya angka kunjungan September 2018, langsung anjlok, hanya 1,35 juta, atau hanya tercapai 75% dari proyeksi. Sudah begitu, Bali dilanda isu yang tidak menyenangkan di pasar China yang sedang bertumbuh itu. Maka bulan Oktober 2018, diturun lebih drastis lagi. Dari 193 ribu di bulan Oktober 2018, diperkirakan tinggal 50%-nya saja di November 2018.

Karena sudah menyentuh di angka kunjungan wisman Tiongkok, Menpar Arief Yahya pun ikut bersedih. Itu mengingatkan saat terjadi erupsi Gunung Agung September 2017 lalu. Pemerintah China mengeluarkan Travel Warning, dan Oktober, November, Desember, betul-betul kosong ke Bali.

“Saya masih ingat, industry menjerit, lalu berkirim surat ke Pak Presiden Jokowi, agar membantu recovery Bali. Kita Ratas –Rapat Terbatas—di Bali, dan dipimpin langsung oleh Presiden,” ceritanya.

Mengatasi hal itu, awal Januari 2018, ia terbang ke Beijing melobi dan menjelaskan ke media bahwa Bali aman. Lalu melakukan business gathering dengan sekitar 400-an pelaku industri pariwisata Tiongkok, tour agent, tour operator, untuk kembali menjual paket wisata ke Bali, sampai-sampai dalam satu hari 9 meetings.

Ia juga melobi dan meyakinkan CNTA bahwa Indonesia aman. “Saya langsung terbang dari Beijing ke Kunming, lanjut ke Chiang Mai Thailand, dan bertemu khusus dengan CNTA di sela-sela ATF 2018, pertemuan antar menteri Pariwisata se ASEAN. Saya masih ingat, saya bertemu Mr Du Jiang, Vice Chairman of CNTA, tanggal 25 Januari 2018,” tambahnya.

Dalam pertemuan di Shangri La Hotel Ching Mai, Thailand itu, Arief mengusulkan kedua Negara membentuk tim Task Force, agar ada partner kerja antar kedua negara, dan setiap persoalan yang menyangkut industri di kedua negara bisa diselesaikan dengan baik. “Beliau setuju, dan sejak itu wisman dari Tiongkok berdatangan lagi,” katanya.

Yang disesalkannya, dulu sampai sebegitu serius, merayu agar wisman China berwisata lagi ke Bali dan Indonesia. Setelah mulai normal, tiba-tiba muncul kata-kata yang jauh dari adat ketimuran, jauh dari tradisi dan budaya Bali yang penuh kesantunan bertutur.

Di Shanghai, saat CITM – China International Travel Mart 2018, 17-18 November 2018, Menpar Arief Yahya kembali berusaha agar wisman China tidak “ngambek” lagi. Dia meminta kembali Wakil Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Tiongkok, Yu Qun, supaya wisatawan China tetap berwisata ke Indonesia dan Bali.

“Mereka oke, mereka tetap berkomitmen untuk mengirimkan wisatawan ke Bali dan Indonesia,” kata Arief.

Sehari setelahnya, Presiden Jokowi juga bertemu Presiden Xi Jinping di Port Morresby, PNG. Isu Pariwisata juga dibicarakan di sana, dan secara khusus Presiden Jokowi meminta agar Tiongkok tetap mengirimkan wisatawannya ke Indonesia. Saat itu juga direspons positif oleh Presiden Xi Jinping.

Tiga hal yang disetujui Presiden Xi dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi. Pertama, akan mengirimkan wisatawan dengan proyeksi 3 juta turis ke Bali dan 10 Bali Baru. Kedua akan merealisasi investasi membangun di 10 Bali Baru atau 10 Destinasi Prioritas. Ketiga, akan memperbanyak direct flights ke Indonesia dari Tiongkok, karena problem utamanya adalah transportasi udara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI