Benchmark-nya bisa berkaca pada Thailand. Dalam hal diplomasi kuliner, bisa dikatakan Thailand adalah salah satu world’s best practice. Capaian-capaiannya sangat fenomenal.
Globalisasi masakan Thailand (Thai cuisine) terjadi sejak tahun 1960-an. Selama perang Vietnam, tentara-tentara Amerika mulai “berkenalan” dengan masakan Thailand.
Sejak itu resto-resto Thailand mulai banyak didirikan di New York, Chicago, dan Los Angeles oleh para imigran dari negeri Gajah Putih itu.
Perkembangannya sangat pesat, dari praktis tidak ada pada 1970-an, mencapai lebih dari 200 resto di awal 1990-an. Itu baru Los Angeles saja.
Baca Juga: Pameran di Kamboja, Kopi Indonesia Diborong
Sementara di Eropa, di London, yang pada 1970-an hanya berjumlah 4 resto, pada 2005 sudah mencapai 300 resto.
“Benchmark-nya sudah ada. Kita hanya perlu amati, tiru dan modifikasi,” terang Masruroh, Asdep Pengembangan Pemasara I Regional I Kemenpar.
Lalu apa yang harus dilakukan Indonesia? Apa strategi yang dilakukan di ITTP Phnom Penh sudah tepat?
Pertanyaan tadi langsung dijawab Menteri Pariwisata, Arief dengan penuh keyakinan.
“Ada tiga hal yang harus kita jalankan. Pertama, menetapkan national food. Kedua, menetapkan destinasi kuliner, dan ketiga, mempromosikan dan mem-branding restoran Indonesia yang sudah ada di luar negeri. Jadi yang sudah dilakukan Pak Dubes Sudirman di Phnom Penh sudah tepat,” ucap menteri yang memimpin Kemenpar sebagai kementerian nomor 1 dan terpilih sebagai #TheBestMinistryofTourism2018 se-Asia Pasifik itu.
“Kemenpar sudah menetapkan Soto, Rendang, Nasi Goreng, Sate, dan Gado-gado, sebagai national food. Kebetulan tiga dari lima makanan tersebut ditetapkan oleh CNN sebagai makanan terlezat di dunia yaitu Rendang, Nasi Goreng, dan Sate,” ujar Arief.