Suara.com - Menteri Pariwisata, Arief Yahya memang selalu penuh kejutan. Out of the box.
Menjelang Focus Group Discussion Pengembangan Produk Ekowisata, 19 September 2018, David Makes ditugaskan terbang ke Tanjung Pinang, Kepri untuk membantu percepatan pengembangan produk ekowisata Kepulauan Riau (Kepri).
David datang tidak sendiri, ada Asdep Pengembangan Wisata Alam dan Buatan Kemenpar, Alexander Reyaan dan Direktur UJL-HHBK Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Djohan Utama Perbatasari.
Tiga orang ini seperti trisula, seperti Three Musketeers, yang saling back up, dan menguatkan. Ketiganya bertugas mematangkan konsep ekowisata bersama Asisten I Perekonomian Pemprov Kepri, Syamsul Bahrum.
Baca Juga: Festival Bahari Kepri Pamerkan Keindahan Laut pada Para Yachter
“Masing-masing punya peran beda-beda. Semua bersinergi,” tutur Alexander, Selasa (19/9/2018).
David punya peran mendorong percepatan pengembangan ekowisata di Kepri, Alex, sapaan akrab Alexander, punya peran mencari sesuatu yang baru, yang berujung pada penambahan jumlah wisman, penambahan investasi yang berujung devisa dari sektor pariwisata, sementara Djohan punya peran memberi perizinan hutan produksi di Kepri untuk dikembangkan menjadi ekowisata.
Yang jadi pertanyaan kemudian, kok harus ada David Makes? Apa istimewanya dia? Kenapa juga Menpar sampai menerbangkan dia ke ibukota Kepri di Tanjung Pinang?
Bagi yang belum tahu, David adalah Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata Kemenpar. Lewat ekowisata, David sukses melambungkan Plataran L’harmonie Menjangan di Bali Barat sebagai 100 top destinasi hijau dunia. Kesuksesan inilah yang ingin ditularkan di Kepri.
“Teori pengembangan destinasi harus jangka panjang. Untuk menjadi produk pariwisata bisa, jadi destinasi belum tentu,” katanya.
Dia memang tak asal bicara. Pengalamannya saat mengembangkan Plataran L’harmonie di Bali Barat memang membutuhkan durasi yang tak sebentar.
Dia butuh tujuh tahun untuk menyulap Taman Nasional di Bali Barat menjadi destinasi ekowisata nasional, dan lima tahun kemudian baru menjadi kelas dunia.
Tahapannya banyak. Investasinya juga tak sedikit.
Tapi garis besarnya, tak boleh merusak alam. Benchmark-nya bisa berkaca pada Plataran L’harmonie Menjangan di Bali Barat.
Jalan masuknya mempertahankan bebatuan yang ditata tanpa aspal ataupun cor beton. Papan petunjuk jalannya pun serba berbahan kayu dan artistik.
Bekas-bekas batu karang tidak dibuang, tidak dirusak. Semua ditata rapi di sekitar Plataran L’harmonie.
“Kepri juga bisa bikin seperti itu. Yang kita butuhkan adalah karakter investor yang passion ekowisata dan long term stamina,” paparnya.
Lantas apa yang didapat investor? Bukankah 7 tahun adalah durasi untuk membangun destinasi? Belum bicara untung?
“Yang didapat bisa banyak. Kalau berhasil, itu bisa jadi ATM. Contohnya banyak. Borobudur, Maldives, Bali, Raja Ampat. Saat sudah menjadi destinasi, bikin apa saja di destinasi dimaksud pasti laku. Kepri sangat bisa bikin ini karena ada CEO commitment yang kuat dari gubernurnya,” terangnya.
Komitmen yang dimaksud David adalah dukungan dari Pemprov Kepri. Ada dorongan pembuatan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Bagi David ini terobosan besar. Impact-nya pun diyakini bakal sangat kuat.
“Satu KEK Kepi membawahi berbagai destinasi. Kepri punya Anambas, Natuna, Pulau Moro Besar, dan ribuan pulau lainnya. Kalau masing-masing pulau dibuatkan sebagai destinasi di bawah KEK Kepri, akan banyak investor yang hadir,” ungkapnya.
Bagaimana dengan hutan yang ada di destinasi? Apa nantinya tidak terancam? Ekosistem menjadi terganggu? Ujung-ujungnya hilang?
Soal ini, Djohan punya jawabannya.
“Saya justru tenang, karena hutan terjaga. Nggak ada lagi illegal logging. Nggak mungkin juga disertifikatkan. Artinya, kawasannya tetap, nggak berkurang,” ujarnya.
Komentar menpar pun seirama. Menurutnya, pariwisata merupakan sektor yang paling kecil menimbulkan kerusakan.
“Ini karena prinsip pembangunan pariwisata adalah sustainable atau berkelanjutan. Lingkungan yang terjaga merupakan aset bagi pariwisata untuk mendatangkan wisatawan,” paparnya.
Ditambah lagi, tren dunia sedang mengarah ke sana. Pengembangan pariwisata selalu mempertimbangkan unsur 3P.
“Ada planet-alam, people-masyarakat, dan prosperity-kesejahteraan. Aspek people itu, kita harus perhatikan apa keinginan wisatawan. Lalu planet adalah bagaimana kita merawat dan menjaga tempat-tempat wisata, dan terakhir, prosperity, kita wajib perhatikan nilai-nilai ekonomis dari sebuah tempat wisata,” ujar Arief.