Miris, 92 Ribu Sekolah Dasar di Indonesia Tak Punya Perpustakaan

Rabu, 19 September 2018 | 20:04 WIB
Miris, 92 Ribu Sekolah Dasar di Indonesia Tak Punya Perpustakaan
Taman Bacaan Pelangi sudah membangun 100 perpustakaan di sekolah dasar. (Suara.com/Firsta Putri Nodia)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ungkapan buku adalah jendela dunia biasa kita lihat di dinding perpustakaan sekolah dasar.

Sayangnya, data dari Perpustakaan Nasional RI tahun 2015 menyebut dari 170.647 sekolah dasar di Indonesia, hanya 45,9 persen di antaranya yang memiliki perpustakaan. Sisanya sekitar 92 ribu sekolah dasar tidak memiliki perpustakaan.

Disampaikan pendiri Taman Bacaan Pelangi, Nila Tanzil, sebagian besar sekolah dasar yang tidak memiliki perpustakaan berlokasi di daerah Indonesia Timur, mulai dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Maluku hingga Papua.

"Di beberapa daerah terpencil jangankan mereka memiliki perpustakaan, untuk menuju sekolah saja mereka sampai harus menyusuri sungai," ujar Nila dalam temu media di Jakarta, Rabu (19/9/2018).

Baca Juga: Seribu Guru Bantu Bangun Perpustakaan di Sumba Barat

Ia menambahkan, akses yang rendah terhadap buku bacaan yang biasa ditemukan di perpustakaan sangat berpengaruh pada kemampuan baca. Hal ini terlihat dari skor PISA (Program for International Student Assessment) di mana siswa-siswi Indonesia dalam hal membaca berada di peringkat 64 dari 70 negara.

Sementara jika dibandingkan berdasarkan daerah di Indonesia, murid-murid di Jawa dan Bali mampu membaca 59 kata per menit. Murid di Indonesia Timur, kata Nila hanya mampu membaca 30 kata per menit. Padahal seorang anak dikatakan lancar membaca jika mencapai 50 kata per menit.

"Jadi anak-anak Indonesia Timur belum bisa lancar membaca. Banyak siswa-siswi di sana yang hasil ujian akhir nasional kurang bagus karena tidak mampu memahami soal tersebut," tambah dia.

Menyadari hal tersebut, Taman Bacaan Pelangi yang didirikan Nila giat memfokuskan diri untuk membangun perpustakaan ramah anak serta memberikan pelatihan guru di daerah terpencil di Indonesia Timur sejak tahun 2009. Mulanya perpustakaan yang didirikan Nila dan relawan hanya meminjam teras rumah warga setempat.

Namun setelah sembilan tahun berdiri, Taman Bacaan Pelangi telah mendirikan 100 perpustakaan ramah anak di sekolah-sekolah yang berlokasi di 17 pulau Indonesia Timur. Minggu lalu, Taman Bacaan Pelangi, kata Nila baru saja meresmikan perpustakaannya yang ke-100 di sekolah dasar Katolik Nangapanda 1, Ende, Nusa Tenggara Timur.

Baca Juga: Setelah Papua, Chelsea Islan Ingin Bangun Perpustakaan di NTT

"Dengan diresmikannya perpustakaan ramah anak Taman Bacaan Pelangi yang ke-100 sebanyak 26.000 anak di 17 pulau di Indonesia Timur kini sudah mendapatkan akses buku bacaan yang berkualitas, dan lebih dari 1.000 guru sudah mendapatkan pelatihan tentang sistem pengelolaan perpustakaan ramah anak dan program literasi anak," tambah dia.

Joel Bacha, Accelerator Project Director Room to Read selaku partner utama dalam pendirian perpustakaan ke-100 mengaku bangga bisa berkontribusi untuk mencerahkan wawasan anak-anak setempat sehingga lebih berani untuk bermimpi besar.

"Kami bangga konsep perpustakaan ramah anak telah diterapkan di Ende. Kami percaya bahwa perubahan dunia dimulai dari anak-anak yang berpendidikan. Melalui kerjasama dengan Taman Bacaan Pelangi, kami berkomitmen untuk membantu meningkatkan kebiasaan dan kemampuan membaca anak-anak di Indonesia," kata Bacha.

Nila menambahkan, Ia merasakan betul bagaimana perubahan anak-anak pelosok di Indonesia Timur yang senang bisa memiliki perpustakaan baru di sekolahnya. Menurutnya, dengan hadirnya perpustakaan, anak-anak memiliki pandangan yang berbeda tentang suatu hal dan mulai berani untuk memiliki cita-cita yang tinggi.

"Pertama tentu kemampuan bahasa Indonesia mereka meningkat sejak ada perpustakaan, karena sehari-hari pakai bahasa daerah. Nah perubahan lain yang saya lihat mereka jadi memiliki pandangan berbeda, ketika saya tanya cita citanya apa, kalau nggak guru ya pemuka agama. Lalu berapa bulan kemudian setelah perpustakaan berdiri, cita cita mereka jadi berubah, lebih aneka ragam," tandas dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI