Suara.com - Tak bisa dipungkiri pekerjaan sebagai Sales Promotion Girl (SPG) sangat rentan terhadap eksploitasi fisik dan pelecehan seksual. Seperti yang dialami seorang SPG bernama Tara Dianti (nama samaran). Sudah tiga tahun perempuan 23 tahun ini menjalani pekerjaan sebagai SPG. Meski enjoy dengan pekerjaan yang hanya bermodal penampilan menarik dan keluwesan berbicara serta senyum manis kepada pelanggan, ia tetap risih dengan pandangan genit pelanggan dan ucapan usil para lelaki yang menjadi target penjualannya. Potret kesetaraan gender di Indonesia yang seakan mundur ke masa lalu. SPG seperti menjadi potret kelam pekerjaan-pekerjaan yang berupaya memperkecil peran perempuan di muka umum atau menjatuhkan peran perempuan.
Tara mengaku menjadi SPG otomotif memang menyenangkan. Dalam sehari ia bisa mendapatkan uang minimal Rp 500 ribu dalam waktu kerja yang hanya enam jam. Baginya itu lebih menarik daripada harus bekerja di perusahaan yang terikat waktu formal kerja delapan jam dengan gaji standar Upah Minimun Regional (UMR) untuk lulusan baru fresh graduate sepertinya.
Bekerja menjadi SPG sejak kuliah, dara berambut lurus ini mengaku ketagihan. Dia bisa membeli barang keperluannya dengan mudah, walau dengan risiko diganggu laki-laki ‘nakal’. Namun, dalam hati kecilnya, Tara ingin sekali bisa bekerja nyaman tanpa harus memasang senyum palsu setiap kali digoda.
“Digoda-goda pelanggan laki-laki itu sudah jadi makanan sehari-hari. Diminta kenalan, dipandangi dalam-dalam, atau colek-colek sok akrab harus didahapi. Kami (SPG) tidak boleh melawan, apalagi marah-marah, karena itu dianggap tidak sopan. Padahal kami sudah dilecehkan,” aku Tara kepada Suara.com.
Baca Juga: Jokowi Gaet Erick Thohir, Prabowo Tetap Pilih Eks Panglima TNI
Ketika dirinya dipandangi tak biasa oleh lelaki demi produk yang dijajakannya dibeli, Tara terpaksa rela. Dia harus pintar-pintar menghindar dan kuat menahan marah meski emosi membuncah kepala dan sumpah-serapah sudah di ujung lidah. Lagi-lagi dara harus tetap senyum dan berusaha mengalihkan perhatian calon pembeli untuk fokus kepada produk yang dijajakan bukan dirinya yang memang dijadikan pajangan.
Tak jarang Tara membiarkan nomor teleponnya dimiliki pelanggan dan akun Instagram-nya diketahui. Apalagi bagi pelanggan yang sudah membeli, tak enak jika dia menolak.
“Dimintai kontak pribadi itu juga sering. Biasanya saya lihat-lihat dulu orangnya, kalau pelanggannya sudah beli ya mau tak mau saya kasih. Kalau kira-kira tidak membeli dan kelihatannya cuma mau genit-genit saja, saya cari calon pelanggan lain sambil perlahan meninggalkan. Untuk yang menelepon biasanya menanyakan sudah punya pacar atau belum, tinggal dimana, sibuk apa, ya standar laki-laki kalau lagi pendekatan,” ceritanya.
Soal pakaian, sebagai SPG yang menjajakan produk otomotif, Tara harus memakai seragam yang diberikan koordinatornya. Modelnya mini dan melekat pas ke tubuh.
“Untuk pakaian sudah diberi tahu dan ditentukan dari awal, kalau sudah deal, ya harus pakai. Pakaiannya sudah pasti terbuka. Entah hot pants, baju you can see, ketat, rok mini, v-neck yang belahannya dalam, ya harus dipakai. Kalau tidak suka, ya tidak usah bekerja, yang artinya kita tidak dapat uang,” beber perempuan lulusan Ilmu Komunikasi dari salah satu universitas swasta di Jakarta ini.
Baca Juga: Bacaleg Gerindra M Taufik Optimistis Kalahkan KPU di DKPP
Sebenarnya Tara tahu, risiko menjadi SPG bisa lebih buruk dari sekadar dipandang-pandang dan dirayu. Di lingkungan sesama SPG, ada banyak teman Tara yang awalnya bekerja ‘lurus’ namun akhirnya berbelok sambil mencari tambahan. Sebab, memang banyak tawaran dan iming-iming hidup mewah dari pelanggan.
“Bagi yang suka atau tidak kuat digoda, banyak juga yang mau dipegang-pegang, diajak jalan, check-in setelah event. Karena itu sudah menjadi urusan masing-masing. Agensi atau supervisor kami tidak ikut campur. Bahkan untuk SPG yang sudah senior, gaya hidup mereka lebih highend daripada pekerja kantoran. Semua karena ditopang pelanggan, bisa lebih dari satu malah,” ungkapanya.
Tara menyayangkan, tak ada pengawasan dan perlindungan terhadap pekerjaan honorer seperti SPG. Padahal dunia SPG sangat rentan eksploitasi fisik dan pelecehan seksual. Baik secara fisik, verbal, dan psikis.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2016, jumlah total buruh/karyawan/pegawai dari 17 sektor pekerjaan sebanyak 45,8 juta orang, yang terdiri dari 29,3 juta laki-laki dan 16,4 juta perempuan. Tiga sektor pekerjaan yang didominasi perempuan antara lain Jasa Pendidikan 61,1 persen, Jasa lain 62,4 persen dan jasa kesehatan dan sosial 67,9 persen. Sisanya, mengisi sektor pekerjaan yang kurang memiliki prestise dan tuntutan ketrampilan khusus. Pekerjaan perempuan sebagai Sales Promotion Girls (SPG) rokok dan minuman merupakan salah satu contoh.
Profesi di bidang promosi ini memang lekat dengan kesan hanya mengandalkan modal fisik semata. Dengan alasan tuntutan pekerjaan, tidak jarang mereka harus berpakaian minim dan dandanan menor untuk menarik banyak pembeli dari pangsa pasar yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki. Pekerjaan dan penampilan mereka tidak jarang mengundang resiko pelecehan.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Trades Union Congress (TUC), sebuah federasi serikat pekerja di Inggris dan Wales, yang mewakili mayoritas serikat pekerja mengungkap, lebih dari 50% karyawan perempuan dilecehkan secara seksual di tempat kerja. Kebanyakan dari para perempuan korban pelecehan tersebut mengaku tidak melaporkan kejadian yang mereka alami. Lewat survei yang dilakukan pada 1.500 wanita ditemukan ada dua bentuk pelecehan seksual yang dialami para perempuan.
Agensi tak ikut campur dunia hitam SPG
Nasyath Faykar, pemilik Ijatzcadenza Agensi, sebuah agaensi model dan SPG di Jakarta membenarkan penampilan fisik merupakan syarat utama untuk dapat bekerja sebagai SPG. Ia mengungkap, kriteria pemilihan SPG yang akan dipekerjakan oleh perusahaanya sangat subjektif. Meski pekerjaan seorang SPG adalah menjual produk, tetapi tak ada seleksi uji kemampuan pemasaran atau negosiasi kepada calon pekerja.
“Syaratnya? Pasti cantik, setidaknya berpenampilan menarik. Itu pun standarnya tidak ada spesifikasi khusus. Tergantung bagaimana saya dan tim melihat, begitu pun klien kami yang akan menggunakan jasa SPG untuk produknya. Tetapi yang paling umum memiliki tinggi badan diatas 165 cm dan berat badan 45-53 kilogram, sudah selera pasar. Kami hanya melihat lewat foto yang dikirim, foto seluruh tubuh dan foto close up,” ujar lelaki yang akrab disapa Ijat ini.
Lelaki yang sudah mengorbitkan beberapa selebriti ibu kota ini mengakui, dunia SPG memang kejam dan buram. Mereka yang dipilih, hanya mereka yang dianggap cantik. Perempuan bertubuh gemuk, kulit gelap, dan tidak menarik, maka tidak bisa jadi SPG. Walau mungkin mereka lebih luwes bicara dan pandai menawarkan produk. Begitu pula para SPG yang tidak mau ikut aturan, seperti berpakaian minim dan menyapa calon pelanggan, maka tidak lagi dipekerjakan. Termasuk yang melawan ketika digoda, juga berisiko masuk daftar hitam SPG.
“Minat perempuan muda berusia 18-23 tahun untuk menjadi SPG memang cukup banyak. Bahkan mereka yang berstatus sebagai mahasiswi dari universitas terkemuka di Jakarta pun senang bekerja sebagai SPG. Sejauh ini mereka kebanyakan SPG saya tidak begitu mempedulikan pelanggan yang genit-genit. Bahkan, memang ada yang bekerja dengan tujuan ingin diganggu supaya bisa dapat tambahan lain,” bebernya.
Soal upah dan jam kerja yang rentan terhadap perempuan, Ijat mengaku tak ada aturan yang disepakati antara agensi dengan SPG. Tetapi memang tidak berpihak kepada pekerja perempuan. Perusahaan penyalur SPG pun tidak diikat oleh peraturan yang jelas oleh pemerintah dan ketegasan soal perlindungan terhadap pekerjanya.
“Tidak ada tuh, perusahaan agensi seperti kami tidak ada pengawasannya. Paling yang diawasi hanya sebatas pemenuhan hak dan kewajiban antara perusahaan dan pekerja. Mengenai upah, aturannya dikurangi 20 persen dari total honor jatah SPG per-shift. Jam kerja pun berisiko sampai malam, bisa sampai di atas jam 10 malam. Untuk perlindungan perjalanan pulang, itu bukan tanggung jawab kami lagi sebagai agensi. Itu sudah masing-masing, ya dalam beberapa event ada klien yang mengantar pulang atau di drop di suatu tempat,” ujarnya.
Mengenai pelecehan seksual yang sering dialami SPG, menurut Ijat itu biasa dan tergantung sikap SPG-nya. Ada yang senang digoda dan ada yang tidak senang. Namun, ada juga yang tujuannya memang mencari penggoda. Karena zaman sekarag, nggak di Jakarta, nggak di daerah memang begitu, perempuan maunya banyak, tapi inginnya mendapatkan secara instan.”
“Kalau ada SPG yang merasa terganggu, ya tinggal bersikap saja, rata-rata mereka mengadu kepada koordinator atau agensi. Biasanya mereka suka diajak hangout, makan malam, check-in, bahkan jadi simpanan. Nah, kalau sudah begitu, maka diluar tanggung jawab agensi, itu urusan masing-masing. Kami biasanya hanya memberi arahan saja, ‘ya kamu jangan mau’. Lagi pula sepertinya banyak yang sudah pada tahu (dunia gelap SPG).”
Pada dasarnya, Ijat menyadari pekerjaan SPG memang rentan eksploitasi dan pelecehan seksual. Untuk menghentikannya memang sulit karena permintaan banyak dan minat yang ingin bekerja menjadi SPG sama banyaknya. Dan untuk memberantasnya hanya bisa dari keluarga masing-masing. Karena pergaulan SGP memang negatif, mereka yang bekerja ‘lurus-lurus’ saja bisa terseret atau ikut sert masuk ‘lembah hitam’.
“Banyak eksekutif muda dan om-om yang kebanyakan uang, mereka biasanya menyalurkan uangnya ke perempuan-perempuan itu. Ada pula perempuan yang mendambakan jadi simpanan. Mereka bisa dapat barang mewah. Kalau sudah masuk dunia hedonisme seperti itu tidak sanggup untuk hidup bokek,” katanya.
Di sisi lain, Gadiza Sekarani (nama disamarkan) yang baru mencoba bekerja sebagai SPG rokok mengatakan sering cemas saat harus bekerja. Sebab, perempuan 21 tahun itu tidak biasa mendekati kumpulan laki-laki untuk menawarkan rokok. Namun, karena butuh uang dia nekat saja dengan dibantu temannya yang sudah berpengalaman.
“Ketika event-event awal saya memang takut, apalagi di acara-acara musik atau minuman yang banyak laki-lakinya. Nggak percaya diri rasanya, tapi dari jauh saya dipantau koordinator, kalau nggak jualan nanti ditegur,” keluhnya.
Mahasiswi jurusan Informasi Teknologi (IT) di salah satu universitas swasta di Jakarta ini pun menceritakan pengalaman tak menyenangkannya ketika menerima pelecehan-pelecehan seksual yang sifatnya fisik dan verbal dari para calon pembelinya.
“Banyak laki-laki yang curi kesempatan saat kenalan atau memberi uang saat membayar, seperti pegang tangan dan colek-colek, kadang ada yang sok akrab langsung merangkul pinggul atau bahu. Ya, kesal sih, tapi katanya itu biasa dan kita hanya boleh menghindar secepat mungkin,” ungkapnya.
Pelecehan lainnya yang pernah dialami Gadiza juga datang dari atasan, supervisor atau koordinator. Sering kali itu lebih sulit ia hindari ketimbang menghindar dari pelanggan. Sebab, risikonya bisa kehilangan job atau honor tertahan.
“Ya, kalau dari atasan kadang suka ada juga yang iseng. Misalnya meminta kita duduk menyilangkan kaki di bangku tinggi saat pakai rok mini, itukan bikin paha kelihatan, alasan mereka supaya secara estetika enak dilihat saja,” tutur Gidiza menyayangkan.
Komnas Perempuan Angkat Bicara
Ketua Divisi Pemulihan Komnas Perempuan, Sri Nurherawati pernah mengatakan, strategi dagang yang diterapkan para pengusaha dengan mempertontonkan lekuk tubuh perempuan adalah salah satu bentuk eksploitasi. "Ya seperti itu adalah salah satu bentuk eksploitasi perempuan," seru Sri Nurherawati beberapa waktu lalu.
Para perempuan itu tidak menyadari telah dimanfaatkan oleh pengusaha untuk meraup keuntungan.
"Sebenarnya itu sudah masuk human trafficking, karena sudah menjual bentuk tubuh manusia," tuturnya. Menurut dia, perlakuan itu dapat saja dipidanakan jika perempuan-perempuan itu mau melaporkannya.
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Kekerasan terhadap Perempuan, Thaufiek Zulbahary mengatakan, berdasarkan data secara umum 2018, tercatat sepanjang 2017, masuk 195 pengaduan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di tempat kerja.
“Pelakunya atasan kerja. Apalagi kasus yang terjadi terkait kekerasan seksual, fisik, psikis (seksual) perdagangan orang. Tahun kemarin yang terjadi pelecehan seksual di ranah komunitas, pelakunya lagi-lagi dari atasan kerja. Konteks dari SPG adalah refleksi dari pekerjaan perempuan yang mengacu pada kekerasan seksual, ini juga diatur dalam undang-undang,” kata Thaufiek Zulbahary.
Profesi SPG sendiri ada akibat dorongan pasar. Eksploitasi yang terjadi bukan saja dari segi fisik, tetapi juga dari ekonomi, karena upah mereka dipotong agensi. Menurut Thaufiek, ini sebetulnya juga harus diawasi karena sangat melemahkan perempuan. Untuk mengatasi permasalah ini, masih banyak tugas yang harus dilakukan Komnas Perempuan.
“Sejauh ini yang bisa kami lakukan adalah mendorong adanya perlindungan hukum di semua ranah. Mendorong DPR mengesahkan RUU pelecehan kekerasan seksual, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS). Sehingga bila ada indikasi pelecehan seksual kapan pun dimana pun ada dampak hukumnya, sehingga bisa mengurangi kasus,” ungkapnya.
Untuk sekarang ini, yang bisa dilakukan agar proses hukumnya tepat adalah melapor. “Harus berani angkat bicara, seperti ‘saya kan kerja, bukan mau hal lain’. Harus berani bilang, maaf pak, itu tidak pantas.’ Hal seperti itu harus diedukasi. Sejauh ini di kelompok buruh termasuk buruh migran sudah diedukasi pemahaman indikasi yang mengarah ke hubungan seksual dan bila merasa ada ketimpangan koordinasi. ‘Jangan mentang-mentang Anda manajer, bisa berlaku seenaknya.’ Katakan seperti itu,” paparnya.
Untuk para pekerja perempuan perlu adanya penguatan dan penyadaran tentang hak agar perempuan lebih berdaya. Thaufiek Zulbahary juga menambahkan, para pekerja perempuan harus peka terhadap modus-modus yang mengarah ke pelecehan seksual atau mengnggau keamanan kerja perempuan itu sendiri.
“Misalnya, apabila klien atau atasan mengajak ‘lembur di atas’, yaitu ajakan atasan atau klien untuk melanjutkan pekerjaan ke puncak (menginap), atau ada lagi yang namanya ‘chating sayang’, percapakan antara klien atau atasan dengan pekerja perempuan tetap mengarah ke ajakan kencan. Contohnya menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi tetapi tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Unjung-ujungnya itu bisa memojokan pekerja perempuan untuk melakukan hubungan seksual. Hal itu rawan sekali di pabrik dan pekerja-pekerja honorer seperti SPG. Termasuk melakukan pekerjaan dengan posisi duduk yang membuat atasan dapat melihat area seksual atau memegang bagian tubuh seksual pekerja perempuan,” tuturnya.
Thaufiek menduga modus-modus yang ia sebutkan di tas dilakukan juga di jenis-jenis pekerjaan seperti SPG, entah dilakukan oleh atasan atau pelanggan. Apalagi pekerjaan SPG dikejar target, yang sangat mungkin membuat pekerja SPG mau memberikan nomor telefon. Dalam hal ini posisi mereka sangat lemah dan belum ada kebijakan yang melindungi.
Saat ini RUU PKS yang sedang diperjuangkan oleh Komnas Perempuan meliputi 13 risalah kebijakan, yang meliputi hukum acara penanganan kasusu kekerasan seksual, definisi atas beberapa frasa yang berkaitan dengan seksualitas, hal korban atas perlindungan, ketentuan pidana dan efektivitas, serta masih banyak lagi.
“Mengapa perlu pengaturan lebih khusus? Karena pelecehan seksual itu sangat luas, rumit sekali inplementasinya, berbeda dengan definsi perbuatan cabul yang mudah dibuktikan dengan adanya penetrasi. Nah RUUPKS yang dibuat Komnas Perempuan menyasar itu,” jelasnya.
Tentang profesi perempuan yang mengandalkan fisik, Thaufiek mengatakan bahwa perbedaan gender itu harus dihilangkan. Perusahaan harus menerapkan standari bawa bedanya laki-laki dan perempuan hanyalah vagina dan penis. Perusahaan seharusnya sudah menyeleksi pekerja hanya berdasarkan skill.
“Menurut saya streotype terhadap perempuan masih sangat memprihatinkan, apalagi di dunia kerja. Ketika perempuan dianggap lemah dan dianggap tak akan bisa melawan. Sudah seharusnya kita membuka pikiran bahwa laki-laki dan perempuan harus saling menguatkan agar dapat terwujud kesetaraan,” imbuhnya.