Komnas Perempuan Angkat Bicara
Ketua Divisi Pemulihan Komnas Perempuan, Sri Nurherawati pernah mengatakan, strategi dagang yang diterapkan para pengusaha dengan mempertontonkan lekuk tubuh perempuan adalah salah satu bentuk eksploitasi. "Ya seperti itu adalah salah satu bentuk eksploitasi perempuan," seru Sri Nurherawati beberapa waktu lalu.
Para perempuan itu tidak menyadari telah dimanfaatkan oleh pengusaha untuk meraup keuntungan.
"Sebenarnya itu sudah masuk human trafficking, karena sudah menjual bentuk tubuh manusia," tuturnya. Menurut dia, perlakuan itu dapat saja dipidanakan jika perempuan-perempuan itu mau melaporkannya.
Baca Juga: Jokowi Gaet Erick Thohir, Prabowo Tetap Pilih Eks Panglima TNI
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Kekerasan terhadap Perempuan, Thaufiek Zulbahary mengatakan, berdasarkan data secara umum 2018, tercatat sepanjang 2017, masuk 195 pengaduan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di tempat kerja.
“Pelakunya atasan kerja. Apalagi kasus yang terjadi terkait kekerasan seksual, fisik, psikis (seksual) perdagangan orang. Tahun kemarin yang terjadi pelecehan seksual di ranah komunitas, pelakunya lagi-lagi dari atasan kerja. Konteks dari SPG adalah refleksi dari pekerjaan perempuan yang mengacu pada kekerasan seksual, ini juga diatur dalam undang-undang,” kata Thaufiek Zulbahary.
Profesi SPG sendiri ada akibat dorongan pasar. Eksploitasi yang terjadi bukan saja dari segi fisik, tetapi juga dari ekonomi, karena upah mereka dipotong agensi. Menurut Thaufiek, ini sebetulnya juga harus diawasi karena sangat melemahkan perempuan. Untuk mengatasi permasalah ini, masih banyak tugas yang harus dilakukan Komnas Perempuan.
“Sejauh ini yang bisa kami lakukan adalah mendorong adanya perlindungan hukum di semua ranah. Mendorong DPR mengesahkan RUU pelecehan kekerasan seksual, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS). Sehingga bila ada indikasi pelecehan seksual kapan pun dimana pun ada dampak hukumnya, sehingga bisa mengurangi kasus,” ungkapnya.
Untuk sekarang ini, yang bisa dilakukan agar proses hukumnya tepat adalah melapor. “Harus berani angkat bicara, seperti ‘saya kan kerja, bukan mau hal lain’. Harus berani bilang, maaf pak, itu tidak pantas.’ Hal seperti itu harus diedukasi. Sejauh ini di kelompok buruh termasuk buruh migran sudah diedukasi pemahaman indikasi yang mengarah ke hubungan seksual dan bila merasa ada ketimpangan koordinasi. ‘Jangan mentang-mentang Anda manajer, bisa berlaku seenaknya.’ Katakan seperti itu,” paparnya.
Baca Juga: Bacaleg Gerindra M Taufik Optimistis Kalahkan KPU di DKPP
Untuk para pekerja perempuan perlu adanya penguatan dan penyadaran tentang hak agar perempuan lebih berdaya. Thaufiek Zulbahary juga menambahkan, para pekerja perempuan harus peka terhadap modus-modus yang mengarah ke pelecehan seksual atau mengnggau keamanan kerja perempuan itu sendiri.
“Misalnya, apabila klien atau atasan mengajak ‘lembur di atas’, yaitu ajakan atasan atau klien untuk melanjutkan pekerjaan ke puncak (menginap), atau ada lagi yang namanya ‘chating sayang’, percapakan antara klien atau atasan dengan pekerja perempuan tetap mengarah ke ajakan kencan. Contohnya menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi tetapi tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Unjung-ujungnya itu bisa memojokan pekerja perempuan untuk melakukan hubungan seksual. Hal itu rawan sekali di pabrik dan pekerja-pekerja honorer seperti SPG. Termasuk melakukan pekerjaan dengan posisi duduk yang membuat atasan dapat melihat area seksual atau memegang bagian tubuh seksual pekerja perempuan,” tuturnya.
Thaufiek menduga modus-modus yang ia sebutkan di tas dilakukan juga di jenis-jenis pekerjaan seperti SPG, entah dilakukan oleh atasan atau pelanggan. Apalagi pekerjaan SPG dikejar target, yang sangat mungkin membuat pekerja SPG mau memberikan nomor telefon. Dalam hal ini posisi mereka sangat lemah dan belum ada kebijakan yang melindungi.
Saat ini RUU PKS yang sedang diperjuangkan oleh Komnas Perempuan meliputi 13 risalah kebijakan, yang meliputi hukum acara penanganan kasusu kekerasan seksual, definisi atas beberapa frasa yang berkaitan dengan seksualitas, hal korban atas perlindungan, ketentuan pidana dan efektivitas, serta masih banyak lagi.
“Mengapa perlu pengaturan lebih khusus? Karena pelecehan seksual itu sangat luas, rumit sekali inplementasinya, berbeda dengan definsi perbuatan cabul yang mudah dibuktikan dengan adanya penetrasi. Nah RUUPKS yang dibuat Komnas Perempuan menyasar itu,” jelasnya.
Tentang profesi perempuan yang mengandalkan fisik, Thaufiek mengatakan bahwa perbedaan gender itu harus dihilangkan. Perusahaan harus menerapkan standari bawa bedanya laki-laki dan perempuan hanyalah vagina dan penis. Perusahaan seharusnya sudah menyeleksi pekerja hanya berdasarkan skill.
“Menurut saya streotype terhadap perempuan masih sangat memprihatinkan, apalagi di dunia kerja. Ketika perempuan dianggap lemah dan dianggap tak akan bisa melawan. Sudah seharusnya kita membuka pikiran bahwa laki-laki dan perempuan harus saling menguatkan agar dapat terwujud kesetaraan,” imbuhnya.