Agensi tak ikut campur dunia hitam SPG
Nasyath Faykar, pemilik Ijatzcadenza Agensi, sebuah agaensi model dan SPG di Jakarta membenarkan penampilan fisik merupakan syarat utama untuk dapat bekerja sebagai SPG. Ia mengungkap, kriteria pemilihan SPG yang akan dipekerjakan oleh perusahaanya sangat subjektif. Meski pekerjaan seorang SPG adalah menjual produk, tetapi tak ada seleksi uji kemampuan pemasaran atau negosiasi kepada calon pekerja.
“Syaratnya? Pasti cantik, setidaknya berpenampilan menarik. Itu pun standarnya tidak ada spesifikasi khusus. Tergantung bagaimana saya dan tim melihat, begitu pun klien kami yang akan menggunakan jasa SPG untuk produknya. Tetapi yang paling umum memiliki tinggi badan diatas 165 cm dan berat badan 45-53 kilogram, sudah selera pasar. Kami hanya melihat lewat foto yang dikirim, foto seluruh tubuh dan foto close up,” ujar lelaki yang akrab disapa Ijat ini.
Lelaki yang sudah mengorbitkan beberapa selebriti ibu kota ini mengakui, dunia SPG memang kejam dan buram. Mereka yang dipilih, hanya mereka yang dianggap cantik. Perempuan bertubuh gemuk, kulit gelap, dan tidak menarik, maka tidak bisa jadi SPG. Walau mungkin mereka lebih luwes bicara dan pandai menawarkan produk. Begitu pula para SPG yang tidak mau ikut aturan, seperti berpakaian minim dan menyapa calon pelanggan, maka tidak lagi dipekerjakan. Termasuk yang melawan ketika digoda, juga berisiko masuk daftar hitam SPG.
Baca Juga: Jokowi Gaet Erick Thohir, Prabowo Tetap Pilih Eks Panglima TNI
“Minat perempuan muda berusia 18-23 tahun untuk menjadi SPG memang cukup banyak. Bahkan mereka yang berstatus sebagai mahasiswi dari universitas terkemuka di Jakarta pun senang bekerja sebagai SPG. Sejauh ini mereka kebanyakan SPG saya tidak begitu mempedulikan pelanggan yang genit-genit. Bahkan, memang ada yang bekerja dengan tujuan ingin diganggu supaya bisa dapat tambahan lain,” bebernya.
Soal upah dan jam kerja yang rentan terhadap perempuan, Ijat mengaku tak ada aturan yang disepakati antara agensi dengan SPG. Tetapi memang tidak berpihak kepada pekerja perempuan. Perusahaan penyalur SPG pun tidak diikat oleh peraturan yang jelas oleh pemerintah dan ketegasan soal perlindungan terhadap pekerjanya.
“Tidak ada tuh, perusahaan agensi seperti kami tidak ada pengawasannya. Paling yang diawasi hanya sebatas pemenuhan hak dan kewajiban antara perusahaan dan pekerja. Mengenai upah, aturannya dikurangi 20 persen dari total honor jatah SPG per-shift. Jam kerja pun berisiko sampai malam, bisa sampai di atas jam 10 malam. Untuk perlindungan perjalanan pulang, itu bukan tanggung jawab kami lagi sebagai agensi. Itu sudah masing-masing, ya dalam beberapa event ada klien yang mengantar pulang atau di drop di suatu tempat,” ujarnya.
Mengenai pelecehan seksual yang sering dialami SPG, menurut Ijat itu biasa dan tergantung sikap SPG-nya. Ada yang senang digoda dan ada yang tidak senang. Namun, ada juga yang tujuannya memang mencari penggoda. Karena zaman sekarag, nggak di Jakarta, nggak di daerah memang begitu, perempuan maunya banyak, tapi inginnya mendapatkan secara instan.”
“Kalau ada SPG yang merasa terganggu, ya tinggal bersikap saja, rata-rata mereka mengadu kepada koordinator atau agensi. Biasanya mereka suka diajak hangout, makan malam, check-in, bahkan jadi simpanan. Nah, kalau sudah begitu, maka diluar tanggung jawab agensi, itu urusan masing-masing. Kami biasanya hanya memberi arahan saja, ‘ya kamu jangan mau’. Lagi pula sepertinya banyak yang sudah pada tahu (dunia gelap SPG).”
Baca Juga: Bacaleg Gerindra M Taufik Optimistis Kalahkan KPU di DKPP
Pada dasarnya, Ijat menyadari pekerjaan SPG memang rentan eksploitasi dan pelecehan seksual. Untuk menghentikannya memang sulit karena permintaan banyak dan minat yang ingin bekerja menjadi SPG sama banyaknya. Dan untuk memberantasnya hanya bisa dari keluarga masing-masing. Karena pergaulan SGP memang negatif, mereka yang bekerja ‘lurus-lurus’ saja bisa terseret atau ikut sert masuk ‘lembah hitam’.
“Banyak eksekutif muda dan om-om yang kebanyakan uang, mereka biasanya menyalurkan uangnya ke perempuan-perempuan itu. Ada pula perempuan yang mendambakan jadi simpanan. Mereka bisa dapat barang mewah. Kalau sudah masuk dunia hedonisme seperti itu tidak sanggup untuk hidup bokek,” katanya.
Di sisi lain, Gadiza Sekarani (nama disamarkan) yang baru mencoba bekerja sebagai SPG rokok mengatakan sering cemas saat harus bekerja. Sebab, perempuan 21 tahun itu tidak biasa mendekati kumpulan laki-laki untuk menawarkan rokok. Namun, karena butuh uang dia nekat saja dengan dibantu temannya yang sudah berpengalaman.
“Ketika event-event awal saya memang takut, apalagi di acara-acara musik atau minuman yang banyak laki-lakinya. Nggak percaya diri rasanya, tapi dari jauh saya dipantau koordinator, kalau nggak jualan nanti ditegur,” keluhnya.
Mahasiswi jurusan Informasi Teknologi (IT) di salah satu universitas swasta di Jakarta ini pun menceritakan pengalaman tak menyenangkannya ketika menerima pelecehan-pelecehan seksual yang sifatnya fisik dan verbal dari para calon pembelinya.
“Banyak laki-laki yang curi kesempatan saat kenalan atau memberi uang saat membayar, seperti pegang tangan dan colek-colek, kadang ada yang sok akrab langsung merangkul pinggul atau bahu. Ya, kesal sih, tapi katanya itu biasa dan kita hanya boleh menghindar secepat mungkin,” ungkapnya.
Pelecehan lainnya yang pernah dialami Gadiza juga datang dari atasan, supervisor atau koordinator. Sering kali itu lebih sulit ia hindari ketimbang menghindar dari pelanggan. Sebab, risikonya bisa kehilangan job atau honor tertahan.
“Ya, kalau dari atasan kadang suka ada juga yang iseng. Misalnya meminta kita duduk menyilangkan kaki di bangku tinggi saat pakai rok mini, itukan bikin paha kelihatan, alasan mereka supaya secara estetika enak dilihat saja,” tutur Gidiza menyayangkan.