Festival Biak Munara Wampasi Disaksikan 10 Ribu Pengunjung

Jum'at, 24 Agustus 2018 | 18:00 WIB
Festival Biak Munara Wampasi Disaksikan 10 Ribu Pengunjung
Festival Biak Munara Wampasi 2018. (Dok: Kemenpar)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Jou Suba! Begitulah cara masyarakat Papua menyambut wisatawan yang hadir di Festival Biak Munara Wampasi 2018.

"Jou Suba" sendiri berarti selamat datang.

Festival Biak Munara Wampasi 2018 resmi dibuka Rabu (22/8/2018), di Lapangan Kampung Samber, Biak Numfor. Festival yang sudah enam kali dilaksanakan ini mendapatkan respons besar dari publik.

Sejak awal, sajian khas Papua langsung ditampilkan. Para performer, dengan terampil memainkan alat musik Tifa dan terompet Kima. Sajiannya kian lengkap dengan Tari Wor yang dibawakan dengan atraktif.

Tidak lama kemudian, terdengar Tamberok, yaitu alat musik dari bambu. Total ada 247 orang yang memainkan Tamberok yang mengiringi paduan suara. Mereka berasal dari 12 sanggar di Biak.

Baca Juga: Pamerkan Eksotisme Alam Papua, Kemenpar Gelar Festival Biak

Festival Biak Munara Wampasi 2018. (Dok: Kemenpar)
Festival Biak Munara Wampasi 2018. (Dok: Kemenpar)

Menurut Kepala Dinas Pariwisata Biak Numfor, Turbey Onny Dangeubun, kemasan Festival Biak Munara Wampasi tahun ini lebih menarik.

“Festival tahun ini dikemas lebih menarik. Event ini jadi panggung besar bagi semua potensi yang dimiliki oleh Biak. Semua seni dan budaya terbaik ditampilkan di sini, seperti Tamberok. Mereka baru tampil di acara tujuh belasan di Istana Negara kemarin,” ujarnya, Biak, Kamis (23/8/2018).

Total, Tamberok menampilkan 10 lagu. Tiga diantaranya adalah lagu dari daerah lain, seperti Rek Ayo Rek, Ampar-Ampar Pisang, dan Si Patokaan. Lagu Perambo, yang menjadi ikon Biak, juga dinyanyikan, lalu disusul Tanah Papua.

Menyempurnakan penampilan, Tari Pancar yang juga menjadi ikon Biak pun ikut ditampilkan.

Tari Pancar menjadi representasi pergaulan para generasi milenial Biak. Tarian ini dibawakan rancak dengan karakter gerakan pancar, pacu tiga, juga seka.

Tarian menjadi semakin eksotis dengan kostum yang dikenakan. Berbeda dengan wilayah lain Papua, baju adat Biak, khususnya pria, tidak menggunakan koteka.

“Budaya di Biak ini unik dan agak berbeda dengan wilayah lain di Papua. Baju yang dikenakan memang lebih berwarna. Hal ini tentu memiliki histori yang panjang dan sesuai dengan karakter masyarakat Biak yang ramah,” katanya.

Pria di Biak lebih familiar dengan noken. Ada juga yang mengenakan cidoko, yaitu rompi khas Biak, lengkap dengan celananya.

Cidoko terbuat dari kulit kayu manduam. Kulit manduam direndam semalam, lalu dipukul-pukul sampai lunak.

Baca Juga: Pelari dari Berbagai Negara Akan Meriahkan Festival Biak 2018

Untuk menambah asesoris, ada bulu kasuari atau ijuk, ditambah juga sentuhan kerang-kerangan untuk menambah nilai eksotis.

Serupa baju adat pria, wanita Biak familiar dengan noken. Bedanya, noken ini dibuat memanjang dari dada hingga lutut. Noken dibuat dari daur sagu muda.

REKOMENDASI

TERKINI