Suara.com - Fenomena perkawinan anak di bawah umur masih menjadi polemik yang belum tuntas, meskipun sudah banyak kasus yang terungkap ke publik. Padahal sudah jelas tertuang dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang membatasi usia nikah untuk laki-laki minimal 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia telah menikah pada umur kurang dari 18 tahun pada 2008 hingga 2015. Tercatat 1.348.886 anak perempuan telah menikah di bawah usia 18 tahun pada 2012. Bahkan setiap tahun, sekitar 300.000 anak perempuan di Indonesia, menikah di bawah usia 16 tahun. Walaupun angka perkawinan usia anak terus menurun setiap tahunnya, hal tersebut tergolong masih sangat lambat.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise sangat menyoroti soal tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia.
“Tingginya angka perkawinan usia anak tidak lepas dari rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka kemiskinan, norma sosial budaya yang berlaku, dan ketidaksetaraan gender dalam keluarga. Perkawinan usia anak juga identik dengan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua dengan alasan ekonomi. Anak-anak perempuan dari keluarga miskin berisiko dua kali lebih besar terjerat dalam perkawinan usia anak,” ujar Menteri Yohana dalam acara Diskusi Media, bertema Perkawinan Usia Anak belum lama ini di Jakarta.
Baca Juga: Barcelona Sodorkan 50 Juta Euro dan 2 Pemain untuk Pogba
Dampak dari perkawinan usia anak diantaranya, terganggunya kesehatan dan tumbuh kembang anak, pendidikan, ketahanan keluarga, bahkan yang paling buruk adalah peningkatan angka perceraian dan angka kematian ibu. Oleh karena itu, Kemen PPPA mengusulkan kebijakan penyusunan revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Substansinya adalah menaikkan batas usia perkawinan, yaitu di atas usia anak atau 18 tahun dan idealnya di atas 21 tahun, membatasi dispensasi perkawinan, serta menambah pasal upaya pencegahan perkawinan usia anak.
“Penyempurnaan UU perkawinan usia anak menjadi kebutuhan yang mendesak. Dengan cara ini, intervensi pemerintah bisa menghentikan praktik-praktik perkawinan usia anak yang membahayakan dan merampas hak-hak anak. Selain itu, juga dibutuhkan kepastian hukum dan pengetatan mekanisme dispensasi yang hanya dapat diberikan secara limitatif melalui pertimbangan pengadilan yang jelas,” tambahnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan. Mulai dari penyusunan kebijakan nasional tentang pencegahan perkawinan anak, penyusunan rencana menaikkan batas usia perkawinan dan menghapus dispensasi perkawinan, kampanye 'Stop Perkawinan Anak' sejak 2016, Forum Pencegahan Perkawinan Anak yang ditujukan kepada tokoh agama dan guru, inisiasi perwujudan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), mendorong wajib belajar selama 12 tahun dalam kebijakan, pembentukan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), meningkatkan akses dan kualitas pendidikan anak, melibatkan anak sebagai Pelopor dan Pelapor (2P), serta menjalin kemitraan dengan lembaga sosial dan dunia usaha.
“Kondisi perkawinan usia anak di Indonesia semakin memprihatinkan bahkan sudah menuju darurat. Sudah menjadi tanggung jawab kita semua untuk memutus mata rantai perkawinan usia anak termasuk keluarga, masyarakat, pemerintah, dan rekan-rekan media khususnya sebagai wadah penyebaran informasi secara massal. Harapan pertama yakni satu kebijakan penyusunan revisi UU Perkawinan dapat segera terealisasi agar tidak ada lagi kasus perkawinan usia anak,” tutup Mama Yo-sapaan Menteri Yohana.
Baca Juga: Disebut Anggota Rumah Produksi Film Porno, Politikus PDIP Murka