"Kebanyakan lelaki dibesarkan untuk mempercayai yang terbaik bagi mereka. Di meja makan, porsi terbaik disediakan untuk ayah atau anak. Mereka belajar sejak dini dari istri-istri mereka, para ibu, bahwa mendapatkan yang terbaik dari segala sesuatu dalam hidup adalah hal yang alami, terutama dari seorang perempuan," katanya menjelaskan.
Rajat mengutip contoh dari kehidupannya di sebuah kota kecil Swiss bernama Appenzell pada 1990-an.
"Masalah ini mengguncang Eropa di era 80-an dan 90-an. Para perempuam Appenzell tidak memiliki peran kunci dalam pengambilan keputusan di tingkat dewan hingga 1992," ujarnya.
Tapi semuanya berubah. Perempuam menjadi tegas, pergi bekerja, menuntut hak-hak yang lelaki anggap biasa saja. Rajat menambahkan, hal yang menggembirakan adalah bahwa orang-orang Swiss ini mengambil pendekatan yang berorientasi solusi terhadap masalah yang mereka hadapi.
Baca Juga: Indonesia Rebut Satu Gelar di Asia Junior Championship 2018
"Mereka ingin membahas cara menangani perempuam asertif baru ini dengan mengatakan 'tidak' kepada mereka, dan bernegosiasi lebih baik dengan perempuan ketika menghadapi masalah. Sampai saat itu, konsep negosiasi hampir tidak diketahui," katanya. [TimesofIndia]