Simbah 104 Tahun yang Yahud Meracik Mangut

Jum'at, 06 Juli 2018 | 20:15 WIB
Simbah 104 Tahun yang Yahud Meracik Mangut
Mbah Marto, dari tangannya lahir mangut lele asap dahsyat [Suara.com/ukirsari].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kesibukan di dapur tradisional itu tidak berhenti dari subuh sampai sekitar pukul 16.00 sore waktu setempat. Duduk di sebuah dingklik atau kursi kayu pendek, adalah seorang  nenek atau simbah 104 tahun yang yahud meracik mangut. Lele diasap dengan bara sabut kelapa, lantas dimasak dalam kuah santan pedas, menggunakan tungku tradisional. Penuh beluk atau asap mengepul dalam bahasa Jawa.

Perempuan itu dikenal sebagai Mbah Marto. Karena warungnya berlokasi di daerah Nggeneng, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, ia berjuluk Mbah Marto Nggeneng. Usia boleh renta, tetapi ia adalah simbah 104 tahun yang yahud meracik mangut.

Tangan rentanya lincah mengayunkan bendo, semacam parang kecil untuk merapikan bambu penusuk lele asap agar saat proses pemasakan tidak melengkung. Lantas ia sendiri mengulek bumbu, di antaranya cabai rawit dalam jumlah besar yang terlebih dahulu dididihkan.

Ayo, ndang mundhut piyambak,” nenek berpostur kecil serta punggung bungkuk yang berbusana tradisional Jawa, kain panjang dan kebaya batik itu menyilakan Suara.com. Artinya, “Ayo, silakan ambil sendiri sana.”

Rasanya seperti tengah bertandang ke rumah nenek sendiri. Apalagi ia menambahkan ujarannya, “Kok milih cedhak beluk, mbok nang njaba kana,” atau “Mengapa memilih duduk di dekat tempat penuh asap begini, pilihlah tempat di luar sana.”

Lebih dari 10 tahun lalu, pasca gempa dahsyat di Yogyakarta pada 2006, Mbah Marto yang berprofesi sebagai pedagang mangut lele asap keliling berhenti berjualan buat sementara. Ia menunggu pemulihan kondisi lingkungan yang porak poranda karena amukan gempa.

Namun beberapa penggemar mangut lele asap khas buatannya tidak sabar menanti ia berdagang lagi, juga bertanya-tanya akan keselamatannya. Mereka mendatangi rumahnya di daerah Nggeneng ini.

Sejak itulah Mbah Marto membuka dapurnya bagi siapa saja yang ingin ngiras atau bersantap. Bukan membuka restoran atau warung secara khusus, namun berkonsep apa adanya. 

Spanduk besar di halaman depan rumah Mbah Marto [Suara.com/ukirsari].
Spanduk besar di halaman depan rumah Mbah Marto [Suara.com/ukirsari].

Artinya, tamu yang datang silakan masuk melalui pintu depan atau pintu samping dekat sumur, langsung ke dapur tradisional dan memilih menu sendiri di sana. Mulai mangut lele, opor ayam dan telur, gudeg, sambel goreng krecek, krupuk, sampai tahu dan tempe bacem tersedia. Tentu saja ada satu bakul berisi nasi panas mengepul sebagai kawan utama bermacam hidangan itu.

Sesudahnya, silakan pilih duduk di mana saja. Di ruang tamu, ruang makan, sampai ruang samping kediaman Mbah Marto yang tak seberapa luas. Lokasi sederhana, tetapi nglawuhi, dalam bahasa setempat. Atau memiliki lauk sedap untuk disandingkan dengan nasi.

Di laman selanjutnya, adalah kisah, muasal bagaimana mangut lelenya bercitarasa dahsyat.

Suara.com memilih tempat duduk sedikit “ekstrem”, yaitu di samping Mbah Marto yang tengah sibuk mengolah lele asap.

Di hari-hari biasa, Mbah Marto menyebutkan lele yang diasap mencapai 25 sampai 30 kilogram. “Tetapi Lebaran kemarin, naik tiga kali lipat, sampai sekitar 75 kilogram,” tukasnya.

Tak ada waktu mengunjungi dapur Mbah Marto? Serahkan saja pada jasa ojol [Suara.com/ukirsari].
Tak ada waktu mengunjungi dapur Mbah Marto? Serahkan saja pada jasa ojol [Suara.com/ukirsari].

Lele ini diperolehnya dari tetangga dekat rumah, yang memang berdagang lele di pasar. Lantas setelah melalui proses dibersihkan dan ditusuk bambu melintang bagian mulut ikan menuju ekor, diasap sampai mengeluarkan bau harum khas menggiurkan. 

Uniknya, hidangan mangut lele asap andalan Mbah Marto ini tercipta secara kebetulan. Mangut lele yang dijualnya dalam tenggok atau bakul penjual makanan keliling, tersiram sambal pedas karena guncangan saat dibawanya berjalan kaki.

Tak dinyana, menu ini justru digemari para pembeli. Sejak itulah ia memasak mangut lele yang telah diasap dengan bumbu santan lebih pedas dari biasa. Sanggup membuat para pembelinya berkeringat serta mendesis kepedasan, bahkan ada yang mencucurkan air mata.

Sampai di usianya sekarang, Mbah Marto tetap meracik masakannya sendiri, dengan asisten saudari serta anak dan cucunya.  Terkadang, seperti yang Suara.com saksikan, ia “diusir” oleh mereka karena terus larut dalam kesibukan dapur. Termasuk membereskan piring bekas Suara.com bersantap.

Demikian pula bila tiba giliran tamu hendak membayar. Salah satu cucu perempuannya yang berusia 43 tahun hanya bertindak sebagai “kalkulator” bagi tamu, dan Mbah Marto menyimpan uang serta memberikan kembalian.

Pendek kata, simbah 104 tahun yang yahud meracik mangut ini memang istimewa. Tetap berkarya di usia senja. Dari tangan rentanya tercipta hidangan klangenan atau kerinduan para langganan dan petualang rasa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI