Suara.com - Bersama ini, Suara.com mengucapkan Selamat Lebaran Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Setelah berpuasa sebulan, juga bermacet-macet "menikmati" Mudik Lebaran 2018, kini tiba saatnya untuk menyantap hidangan di hari suci.
Sembari berkumpul bersama keluarga di manapun, mari sejenak menengok bagaimana saudara-saudara kita se-Tanah Air merayakan Lebaran dengan cara unik.
Tak terbilang banyaknya, sangat menggambarkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, yaitu keberagaman dalam wadah satu, se-Nusantara, se-Indonesia.
Mari kita tengok bersama, lima perhelatan tradisional menyambut Lebaran di Tanah Air kita. Ada yang baru digelar sekitar sepekan setelah Idul Fitri, sehingga memungkinkan Anda untuk bergabung, bila masih ada waktu atau cuti tersisa.
Baca Juga: Fyodor Smolov: Kemenangan di Laga Pembuka Krusial bagi Rusia
1. Grebeg Syawal di Yogyakarta.
Grebeg berasal dari bahasa Jawa "gembrebeg" atau ramai menyapa telinga, bisa diartikan sebagai perarakan dengan sebuah kemeriahan.
Grebeg Syawal atau terkadang disebut syawalan melambangkan cara berbagi Sinuhun (sapaan hormat kepada Sri Sultan) dengan seluruh warganya dalam merayakan Lebaran. Berlangsung pada 1 Syawal atau hari pertama tahun baru Hijriah, usai melakukan salat Idul Fitri.
Dalam perhelatan ini, pihak keraton membuat gunungan dari berbagai hasil bumi serta tumpeng lalu diarak oleh para abdi dalem dan prajurit istana dari halaman keraton menuju Masjid Agung Kauman. Suasananya sungguh meriah, lengkap dengan kirab, dan gunungan diangkat atau dipanggul tinggi-tinggi melewati kepala.
Usai doa didaraskan oleh pemuka agama, segera gunungan ini diperebutkan oleh masyarakat yang menghadiri acara. Bukan seberapa banyak didapat, tetapi berkah yang disebut-sebut menyertai setiap benda yang disusun di gunungan tadi.
Baca Juga: Masjid Istiqlal Akan Gelar Takbir sampai Pukul 11 Malam
2. Lebaran Topat di Lombok.
Dilangsungkan enam hari setelah Hari Raya Idul Fitri atau disebut "seminggu setelah puasa Syawal". Salah satu tempat penyelenggaraannya adalah seberang Pura Batu Bolong, di Senggigi.
Acara didahului dengan pencukuran rambut bayi yang baru lahir, serta doa yang didaraskan oleh imam masjid.
Sesudahnya, warga muslim yang membawa bekal ketupat akan saling melemparkan ketupat buatan mereka. Maknanya adalah saling memaafkan dan sesudah itu seluruhnya bersalaman untuk menikmati hidangan bersama-sama.
3. Ronjok Sayak di Bengkulu.
Dilaksanakan pada malam takbiran, atau malam terakhir di bulan Ramadan.
Maknanya kurang lebih adalah menciptakan kobaran api menuju ke langit. Tradisi ini berakar dari suku Serawai, yang mempercayai bahwa doa akan sampai kepada leluhur dengan perantaraan api.
Pelaksanaannya adalah menyusun batok kelapa membentuk gunungan di tanah lapang lantas dibakar dari puncak.
Foto: Ilustrasi membakar gunungan batok kelapa [Shutterstock].
4. Pukul sapu lidi di Leihitu, Maluku Tengah.
Perhelatan digelar sepekan setelah Hari Raya Lebaran dan berlangsung di daerah Leihitu, sekitar dua jam perjalanan darat dari ibukota Maluku, Ambon.
Tradisi yang sudah berusia tua ini termasuk martial arts, di mana para lelaki bertelanjang dada dari Desa Morela dan Mamala membentuk dua kubu dan baku serang menggunakan lidi dari pohon enau.
Mereka berada dalam kondisi trance dan setelah acara usai, seorang imam atau pemuka agama akan mendaraskan doa untuk menyadarkan mereka, serta mengobati luka-luka di kulit sehingga bisa cepat pulih.
5. Riyoyo Kupat di Surabaya.
Juga dikenal sebagai bakda kupat, kupatan atau bakda cilik di beberapa tempat lainnya di seantero Jawa.
Acara berlangsung sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri atau selesainya puasa sunnah awal Syawal.
Uniknya, di Surabaya pada saat Lebaran memang tidak tersedia menu ketupat. Makanan pokok bisa berupa nasi dan lontong. Si ketupat sendiri akan muncul secara istimewa, di saat riyoyo kupat ini. Dan kemeriahan acara juga tak kalah dengan acara Idul Fitri.
Foto: Warga berebut gunungan ketupat di Krakitan, Bayat, Klaten sebagai tanda syukur usai Lebaran [Antara/Aloysius Jarot Nugroho].