Suara.com - Menginjak usianya yang ke-31 tahun pada 2013, Irvan Helmi telah menjadi sosok penting di dunia kopi Tanah Air dan sukses mengembangkan kedai kopi bernama Anomali Coffee, tapi tak berhenti sampai di situ, bersama sang kakak, Tissa Aunilla, ia kemudian mendirikan kedai cokelat bernama Pipiltin Cocoa pada Maret 2013.
Pipiltin Cocoa merupakan kedai cokelat premium yang fokus mengangkat cokelat lokal dan diolah dari perkebunan cokelat organik yang baik.
Butuh waktu selama tiga tahun bagi keduanya untuk melakukan riset mendalam mengenai karakter biji kakao yang tumbuh di seputaran tanah Indonesia. Tak hanya itu ia juga membutuhkan waktu untuk mempromosikan berita baik dari manfaat mengonsumsi cokelat asli.
"Jahatnya makanan cokelat bukan di cokelatnya tapi di gulanya. Kalau baca di google, cokelat itu, decay (kerusakan), bolong di gigi bisa menyembuhkan. Tapi cokelat hitam ya bukan cokelat susu," terangnya.
Memang pada Agustus 2000, tim peneliti dari Universitas Osaka, Jepang, menemukan fakta bahwa kandungan pada cokelat memiliki antibakteri yang mampu menghentikan produksi glucan si penyebab plak pada gigi.
"Jadi cokelat memang memiliki manfaat apalagi antioksidan yang terkandung dalam cokelat sangat berperan penting," tambah Irvan.
Bukan hanya mempromosikan manfaat baik dari mengonsumsi cokelat asli, Irvan melalui Pipiltin Cocoa juga memiliki visi mengangkat biji kakao Nusantara.
Apalagi Indonesia merupakan produsen cokelat terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun konsumsi cokelat masyarakat Indonesia masih sangat kecil yaitu sekitar 300 gram per kapita per tahun. Bandingkan dengan masyarakat Eropa yang mencapai sembilan kilogram per kapita per tahun.
Untuk memuluskan visinya tersebut, Irvan harus repot-repot turun langsung ke petani-petani kakao mulai dari Aceh, Bali hingga ke Flores.
"Rasa di masing-masing daerah berbeda dan karena rasa berbeda bukan berarti kualitas menurun. Jadi hanya preferensi saja yang berbeda," jelasnya.
Misalnya, lanjut Irvan, cokelat dari Aceh, kata Irvan, cenderung memiliki citarasa kacang mete. Sementara cokelat dari Bali cenderung 'glenyer' laiknya mangga matang yang berair.
"Masing-masing daerah rasa cokelatnya berbeda dan saya bangga," tutur Irvan.
Hingga saat ini, Irvan dan kakaknya Tissa tidak lelah mengedukasi pelanggan mengenai cokelat yang diproduksi Pipiltin Cocoa mengenai pertanyaan-pertanyaan mengapa harga yang ditawarkan lebih tinggi. Ini dikarenakan ia membeli biji kakao dengan harga 40 hingga 50 persen lebih tinggi, tapi juga dibarengi dengan proses produksi yang baik agar menghasilkan produk cokelat jempolan.
Tak heran, berkat usaha kerasnya menghasilkan cokelat berkualitas premium, pada 2017, Pipiltin Cocoa berhasil menembus pasar Jepang.