Suara.com - Masjid Menara di Semarang adalah salah satu bukti sejarah jika kota Semarang merupakan harmonisasi percampuran aneka kebudayaan multietnis.
Masjid yang hingga saat ini masih aktif digunakan sebagai tempat beribadah umat muslim, memiliki sejarah panjang sebagai saksi jejak perdagangan antar etnis Timur Tengah, India, Melayu, dan Tionghoa.
Menurut sejarah, pada sekitar tahun 1743, kampung di sekitar masjid ini memang dihuni oleh orang-orang dari Yaman, Pakistan, dan muslim India. Mereka datang untuk berdagang, kemudian menetap di Semarang dan membuat pemukiman. Sejak saat itu, disematkanlah nama Kampung Melayu di sekitar masjid itu. Tak heran jika masjid ini akhirnya juga dikenal sebagai Masjid Menara Kampung Melayu.
Baca Juga: 34 Juta Pemudik Diprediksi Bakal Banjiri Bandara Soetta
Arsitektur masjid yang multietnis
Berkunjung ke masjid ini, Anda tak bakal kesasar. Bangunan masjid ini mudah dikenali dan dicari lantaran memiliki ciri khas warna hijau cerah pada jendela dan pintu, serta kombinasi putih pada atap plafon masjid. Ditambah lagi dengan menara tua besar setinggi 30 meter yang menjulang tinggi di tengah pemukiman warga di jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara.
Jika dilihat dari ukuran bangunannya, masjid yang juga disebut sebagai Masjid Layur, sesuai dengan nama jalan tempatnya berada, sangat berbeda dengan masjid kebanyakan yang ada di Semarang. Ukurannya terbilang kecil, memiliki Masjid ini hanya mampu menampung 4 shaf (baris), atau maksimal 50 jamaah saja.
Baca Juga: NPT Wajib Pelumas Sudah Lindungi Konsumen dan Industri
Bentuk arsitekturnya pun multietnis, jika dilihat dari tembok depan mirip benteng khas Arab yang tinggi berwarna hijau. Dan sebelum memasuki bangunan utama masjid, terdapat sebuah menara besar di pojok kanan depan. Inilah asal-usul nama Masjid Menara.
"Awalnya dulu kantor pelabuhan, dengan menara itu sebagai mercusuar pengawasan kapal dagang yang melintas di Kali Semarang. Sejak akhir abad ke-18, menara ini sudah tidak berfungsi," kata Ali Mahsun, pengurus Masjid Menara.
Menurut Ali, kantor pelabuhan berpindah lantaran tergenang banjir rob. Pindahnya kantor itu menjadikan menara pandang mercusuar tidak difungsikan lagi. Kemudian, para saudagar Arab yang berasal dari Yaman membangun masjid sekitar tahun 1802. Menara berwarna putih berlapis keramik itu pun difungsikan sebagai menara azan.
Saat ini, atap menara masih terlihat asli dengan atap yang terbuat dari kayu seperti bangunan Eropa, meski menara ini sudah uzur dan lapuk.
Menilik ke dalam masjid, suasana sejuk langsung terasa karena atap plafon masjid yang ditopang empat kayu penyangga masih asli terbuat dari kayu. Dinding masjid dihiasi ornamen khas Timur Tengah yang semi berlubang, yang berfungsi sebagai ventilasi udara. Sementara untuk daun pintu dan jendela, lebih mengadopsi gaya Jawa yang khas dengan gaya ornamen yang lebih kaku.
"Bangunan fisiknya khas Arab, tapi untuk atap memiliki ciri khas Melayu dan Jawa dengan atap berundak dari kayu dan bagian atas atap lancip," kata Ali.
Diceritakan Ali, Masjid Menara ini awalnya berlantai dua dengan lantai asli dari kayu jati semua. Namun karena adanya banjir rob yang mulai melanda pada 1900-an, maka lantai masjid akhirnya ditinggikan.
"Sekarang, lantai diubah jadi marmer dan keramik, serta ditinggikan sehingga hanya tinggal satu lantai saja," katanya.
Ruang utama salat di masjid ini diperuntukan bagi jamaah lelaki. Sedangkan bagi jamaah perempuan, ruang salat ada di bagian luar sebelah kanan. "Dulu itu yang salat memang para pelaut dan pedagang yang mayoritas lelaki," kata Ali.