Bubur Suro, Tradisi Bagi-bagi Panganan Turun Temurun

Dythia Novianty Suara.Com
Minggu, 20 Mei 2018 | 07:15 WIB
Bubur Suro, Tradisi Bagi-bagi Panganan Turun Temurun
Bubur Suro. [Suara.com/Andhika Tungga Alam]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kerut wajah di muka Sartibi terlihat serius. Kendati urat sedikit bermunculan karena termakan usia, tidak membuat tangan Pengelola Masjid Suro Palembang ini berhenti mengaduk sebuah adonan makanan khas Ramadan. Belakangan, makanan itu dikenal sebagai Bubur Suro.

Sartibi memang didapuk menjadi peracik sekaligus ahli waris pembuat panganan tradisional khas Masjid Suro yang berada di Jalan Ki Gede Ing Suro Kelurahan 30 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan. Lelaki paruh baya ini sedari pukul 14.00 WIB, sudah memulai "ritual" membuat bubur ini.

"Ini sudah tradisi. Hampir satu abad, masjid ini selalu membuat bubur. Kita bagikan ke seluruh masyarakat, baik itu mereka yang bermukim di sini atau musafir yang kebetulan berbuka puasa di masjid ini," ujar Sartibi membuka cerita, Sabtu (19/5/2018).

Menurutnya, jumlah bubur yang dibuat sepanjang Ramadan berbeda jumlahnya. Untuk awal Ramadan, ia memasak 6 kilogram bubur berbahan dasar beras yang dimasak menggunakan panci berukuran besar. Kemudian, di atas 15 hari hingga 30 hari beras yang dijadikan bubur pun dikurangi karena banyak warga yang mengirimkan makanan juga ke Masjid.

Baca Juga: Bulan Ramadan Ini Marshanda Belum Bertemu Sienna Lagi

"Bubur ini bukan hanya dimasak saja tetapi juga diberikan daging, rempah-rempah dan juga kecap," katanya.

Saat Suara.com mencoba meminta sedikit resep, Sartibi pun membocorkannya. Menurutnya, tidak ada yang dirahasiakan.

"Untuk bumbunya, hanya ada bawang putih, bawang merah, ketumbar, merica, garam, bumbu sop dan minyak sayur,” katanya.

Pembuatannya pun cukup mudah, beras yang sudah dicuci dimasak dan diaduk selama kurang lebih tiga jam. Racikan bumbu yang sudah ditumis dimasukkan ke dalamnya, kemudian diaduk hingga menimbulkan aroma khas.

"Pada saat memasak, masukkan juga satu kilogram daging sapi yang sudah dipotong-potong untuk menambah lezat sajian bubur ketika disantap. Secara adat, makanan ini tidak boleh dijual bebas, karena merupakan warisan budaya,” ujarnya.

Baca Juga: Jadi Istri Kedua di Bulan Ramadan, Ini Doa Meggy Wulandari

Ia sendiri sebagai pengelola masjid juga sebagai pemasak bubur tersebut sejak tahun 1971.

“Dinamakan bubur suro karena dibuat dan diracik oleh salah satu pendiri Masjid Al-Mahmudiyah atau Masjid Suro yang juga termasuk masjid bersejarah Kota Palembang," katanya.

Masjid yang sudah berdiri sejak 1834 tersebut selalu memiliki tradisi membuat bubur Suro. Bubur itu dibagikan kepada seluruh warga secara gratis setiap hari di bulan Ramadan.

Menjelang matangnya bubur, biasanya banyak warga sekitar masjid yang antre untuk mendapatkan bubur suro tersebut karena hanya ada di bulan puasa saja, selain juga diperuntukkan sebagai hidangan berbuka bagi jamaah masjid.

Bubur Suro. [Suara.com/Andhika Tungga Alam]

Foto: Bubur Suro. [Suara.com/Andhika Tungga Alam]

“Sekitar 100 porsi untuk sekali buat. Biasanya dibagikan jam lima sore," kata Sartibi.

Menurutnya, bubur suro hanya ada pada momentum tertentu saja seperti saat bulan Ramadan dan lebaran anak yatim yakni tanggal 10 Muharram. Secara adat tidak boleh ada yang menjualnya secara bebas, karena kuliner tersebut sudah termasuk menjadi warisan budaya. [Andhiko Tungga Alam]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI